Jakarta, Gatra.com - Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Prof. Dr. H. Jamal Wibowo, S.H., mengatakan, perlu inovasi dalam penyampaian materi hukum adat kepada mahasiswa agar mata kuliah ini menarik mereka yang merupakan kaum milenial.
"Menuntut terobosan baru inovatif dalam pembelajaran dan pembaruan. Ini menjadi tantangan pengajar agar hukum adat bisa berkembang seperti mata kuliah hukum lain," katanya dalam "Lokakarya Finalisasi dan Penetapan RPS Hukum Adat" pada akhir pekan ini.
Dalam acara gelaran Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia yang dihelat secara daring ini, Jamal juga menyampaikan bahwa materi mata kuliah hukum adat perlu diperbarui. Pasalnya, sejak Jamal masih menempuh kuliah di fakultas hukum pada tahun 1982, materinya sampai saat ini masih relatif sama.
Menurutnya, kurangnya pembaruan materi kuliah salah satunya karena kemungkinan masih minimnya referensi soal hukum adat yang merupakan mata kuliah wajib di fakultas hukum ini. "Entah karena apa, selain karena referensi hukum adat masih terbatas, cari buku hukum adat ini susah yang update," ujarnya.
Minimnya referensi hukum adat ini, Jamal mensinyalir salah satunya karena kekurangpercayaan diri pengajar pada mata kuliah yang diajarkan. "Kalau bilang mengajar hukum bisnis, menjawab lebih kencang. Kalau hukum adat jawabnya pelan, ada kekurang PD-an," ujarnya berseloroh.
Menurutnya, pembelajaran dan muatan hukum adat tidak mengalami perubahan signifikan. Penyebabnya perlu ditelusuri lebih jauh. "Apakah karena hukum adat kuno sehingga mahal, atau ada kekeliruan pembelajaran sehingga tidak ada perkembangan," ujarnya.
Pembaruan materi dan membuat cara inovatif pembelajaran menjadi tantangan para dosen pengajar mata kuliah hukum adat di fakultas hukum agar materi hukum adat bisa berkembang seperti mata kuliah hukum lainnya, seperti hukum bisnis.
"Upaya pembaruan harus diikuti inovasi-inovasi. Perlu memodernkan melalui berbagai inovasi. Eksistensi dan hak masyarakat adat wajib dilindungi oleh negara, sebab masyarakat hukum adat tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat Indonesia," ujarnya.
Eksistensi masyarakat hukum adat diakui UUD 1945, yakni pada Pasal 18B. Namun, norma hukumnya belum terimplementasi secara maksimal. Bahkan sekarang terabaikan dalam pembangunan hukum nasional dan semakin meminggirkan hukum masyarakat adat. Selain termarginalkan, juga tergerus oleh bangsanya sendiri atas nama hukum.
"Menghilangkan eksistensi hukum adat, berarti menghilangkan jati diri bangs Indonesia. Kita harus lestarikan hukum adat ini," katanya.
Menurut Jamal, hukum adat sangat penting. Hukum adat tidak boleh hanya dalam dalam konseptual, tetapi harus diimplementasikan. Contohnya, dalam putusan peradilan, hakim harus menggali norma-norma yang hidup di masyarakat. Norma-norma tersebut adalah hukum adat. Namun, hal ini minim dilakukan.
Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara jangan hanya melihat suatu perkara dari sisi hukum positif dan mengabaikan norma-norma yang hidup di masyarakat. Indonesia mempunyai banyak hukum adat.
"Prinsip mediasi untuk perdamaian dan sebagainya adalah cara hukum adat selesaikan perkara. Kalau perkara bisa diselesaikan dalam prinsip perdamaian dan mediasi agar tidak melanjutkan perkara di pengadilan, itu merupakan model-model, cara-cara hukum adat untuk menyelesaikan perkara-perkara. Manakala perkara bisa diselesaikan dengan cara win-win solution, pinsip perdamaian, dan mediasi maka beracara tidak perlu mahal, lama, dan berlarut-larut," ujarnya.
Politik hukum dan paradigma pembangunan hukum negeri ini perlu direkonstruksi agar pembangunan hukum nasional betul-betul mengutamakan penggalian dan pencarian nilai hukum yang hidup dan berkebang dalam masyarakat. Penelitian dan kajian terhadap hukum adat perlu mulai dihidupkan kebali agar hasilnya bermanfaat dalam pembangunan hukum nasional.
"Mengendalikan ruh pembangunan hukum nasional yang sesuai nilai-nilai hukum, khususnya di dalam masyarakat adalah satu keniscayaan, masyarakat Indonsia silakan saja terus maju bahkan berubah karena eksistensi negara kita terus menerus berubah dan berkembang, tetapi jangan kehilangan jati diri sebagai bangsa komunal, religio magis," ujarnya.
Jamal berpendapat bahwa menjadikan hukum yang hidup di masyarakat sebagai fondasi hukum nasional itu sangat urgen untuk dilakukan agar produk hukum nasional efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan hukum dan masyarakat Indonesia.
Ia berharap Lokakarya yang diselenggarakan oleh APHA Indonesia ini dapat menghasilkan rencana pembelajaran smester (RPS) hukum adat yang bermuatan materi inovatif, sehingga materi hukum adat semakin berkembang dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
"Menyampaikan kuliah, materi pembelajaran, edukatif, inspiratif serta bisa disenangi kaum milenial karena sejatinya akan menularkan hukum adat kita sebagai penerus, yakni kaum milienial yang sekarang duduk di bangku kuliah," ujarnya.
"Saya apresiasi lokakarya ini diharpkan jadi langkah awal untuk merekonstruksi dan merestorasi materi hukum adat, sehingga makin berperan dalam pembangunan nasional," ujarnya.