Jakarta, Gatra.com - Setelah merampungkan dua angkatan Sekolah Demokrasi dan menyelenggarakan rangkaian kajian publik terkait isu kemunduran demokrasi, LP3ES menyoroti lebih dalam terkait kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Bahasan ini menjadi sangat penting untuk menerangkan kondisi terkini dari isu represi terhadap masyarakat sipil yang terus terjadi.
LP3ES pun menghadirkan tiga pakar yang akan mengupas isu ini dari tiga perspektif yang berbeda.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid memulai pemaparannya dengan mengajak para peserta diskusi untuk mengingat kembali rangkaian kasus pelanggaran HAM yang dialami masyarakat sipil selama tahun 2020.
“Lagi-lagi, kebebasan berpendapat dan berekspresi dipersoalkan, baik dengan cara dipidanakan atau cara lain di luar proses hukum,” katanya, dalam diskusi pada Rabu (9/12).
Usman menyebut hal tersebut juga diikuti dengan menguatnya aktor-aktor keamanan, terutama kepolisian. Ada tindakan yang berlebihan oleh kepolisian untuk merespons perdebatan di ruang publik baik secara online maupun offline.
“Sebagai contoh, pemblokiran internet di papua dan masih ada 35 aktivis politik yang dipenjara. Selain itu, masih juga terjadi degenderisasi dengan dihapusnya regulasi kekerasan seksual dari daftar Prolegnas,” ujarnya.
Selain itu katanya, ada fenomena baru dimana ruang kebebasan sipil untuk diperlakukan sama di depan hukum juga mengalami kemunduran. Misalnya, pencabutan posisi polisi atau aparatur hanya karena orientasi seksual dan gender.
“Ini sangatlah ironi karena bagaimana pun sebagai manusia dan warga negara Indonesia, mereka seharusnya mendapatkan proteksi dari negara terhadap hak-hak mereka sebagai kalangan minoritas,” ujarnya.
Hamid menemukan kemunculan aktor baru di tengah pandemi yang ikut terlibat sebagai korban dalam represi tersebut, yakni tenaga kesehatan. Mereka banyak menjadi harapan untuk menghadapi pandemi, namun tidak mendapatkan alat perlindungan yang memadai dari negara.
“Mulai dari APD yang langka sampai sulitnya mendapatkan akses Swap yang gratis, lalu juga fenomena tenaga medis yang diusir dari tempat tinggal,” ujarnya.
Adapun akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman memperkuat pemaparan Usman Hamid dengan mengulik dari kacamata peneliti HAM.
Ia berargumentasi bahwa represi terhadap masyarakat sipil yang terjadi menunjukkan telah terjadinya neo-otoritarianisme. Ia juga melihat bahwa telah terjadi kekerasan untuk berekspresi, entah itu bagi buruh, mahasiswa atau masyarakat sipil, dalam penolakan UU Cipta Kerja.
“Dalam proses penolakan itu ada upaya penyerangan balik, baik intimidasi, penangkapan, pembubaran paksa, dan sebagainya,” katanya.
Data dari AJI ada 28 jurnalis, YLBHI mengungkapkan ada lebih dari 6000 peserta aksi yang ditangkap atau ditahan. Apa pula otoritarianisme digital berupa peretasan hingga internet shutdown atau bahkan kriminalisasi terhadap konten internet yang tidak secara legal seharusnya dapat dihentikan.
Kemudian tidak luput serangan terhadap jurnalis, juga terhadap aktivis yang mengutarakan pendapat kritis mereka terkait kebijakan. Aktivis mahasiswa di Malang, misalnya, ditahan dengan tuduhan yang berpindah-pindah, dari vandalisme, lalu pindah ke isu bertentangan dengan oligarki.
Kriminalisasi terkait konflik agraria juga masih tetap terjadi, walaupun tidak terekspos media. Misalnya pada kasus Effending Buhing. Ada pula buzzers, influencer dan pengintaian. Juga penyerangan di UTSJ, penahanan dan kriminalisasi mahasiswa Papua dan Ambon.
Selain itu masih terdapat kasus extra-judicial killing. Seperti terbunuhnya Pendeta Yeremia pada akhir oktober, kasus anak SMA yang pulang libur natal kemudian bertemu aparat dan ditembak mati, lalu ada pula kasus FPI km50.
Sejak Jokowi berkuasa, pengerdilan ruang kebebasan sipil dan kekerasan masih terjadi. Akibatnya ada imunitas yang terjadi tanpa pertanggungjawaban hukum. Hal tersebut mencerminkan bagaimana pemerintah memiliki komitmen yang lemah dalam penegakan HAM di Indonesia.
Kebebasan akademik pun terancam. Ada tujuh model tekanan dan ancaman kebebasan akademik. Pertama, serangan siber terhadap aktivis akademik. Kedua, penundukan kampus maupun lembaga riset oleh otoritas negara. Ketiga, serangan terhadap pers mahasiswa. Keempat, kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik atau gugatan untuk membungkam akademisi. Kelima, eskalasi penangkapan/penahanan dalam aksi, kriminalisasi dalam mengkritisi kebijakan negara. Ketujuh, skorsing terhadap mahasiswa.
Argumen dari dua pembicara tersebut kemudian dibungkus oleh perspektif struktural yang dipaparkan Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto.
Dia menemukan bahwa represi masyarakat sipil yang terjadi saat ini, dapat dibandingkan dengan otoritarianisme orde baru, berdasarkan pembagian periode orde baru menurut Andrew Macintyre dan Hal Hill. Pada 1965-1974, kita bisa mengamati adanya konsolidasi politik, dominasi militer, aktifnya partai politik, dan partisipasinya tinggi. Dari sini, kita ingat kembali kalau ada masa di orde baru ketika situasinya masih terbuka.
Ada Indian Summer atau musim panas yang semu di tengah peralihan musim gugur dan dingin. Kemudian, periode itu beralih hingga tahun 1983 ketika terjadi pemulihan ekonomi yang signifikan karena harga minyak membaik dan Golkar semakin kuat. Tetapi pada masa ini, banyak media yang di beredel, menandai masuknya Indonesia ke rezim otoriter.
Kemudian dari 1983 hingga 1990, ada masa ketika perekonomian mengalami penurunan sehingga memicu adanya deregulasi dan dominasi militer yang semakin kuat.
“Gambaran itu dapat digunakan untuk merefleksikan kondisi masyarakat sipil dan dinamika politik yang terjadi sekarang, seperti yang digambarkan melalui rangkaian kasus yang sebelumnya dijabarkan oleh pembicara sebelumnya. Puncaknya terjadi pada akhir 2019 ketika Prabowo berkoalisi dengan pemerintah,” ujarnya.
Wijayanto berargumentasi bahwa negara kini tidak menjadikan keselamatan nyawa masyarakatnya sebagai komando kebijakan di tengah pandemi, melainkan kepentingan ekonomi. Hal tersebut terbukti melalui buruknya respons pemerintah terhadap penanganan Coronavirus di awal penyebarannya, pemaksaan new normal untuk mengamankan ekonomi, dan juga pengesahan Omnibus Law di tengah Pandemi dengan terburu-buru.
“Kondisi itu semakin diperparah dengan kasus Ibu Yuli di Serang yang meninggal karena kelaparan di tengah wabah coronavirus. Kemudian juga soal pilkada di era Pandemi yang berpotensi menciptakan cluster-cluster baru. Kekerasan negara itu tidak selalu dilihat secara eksplisit, tetapi juga melalui kebijakan-kebijakan seperti ini,” katanya.
Diskusi ini memberikan penjelasan yang luas kepada publik mengenai kondisi penegakan HAM yang semakin mengkhawatirkan dan juga bagaimana kekerasan negara menjadi hal yang mungkin dilakukan di negara demokrasi.
“Toleransi terhadap kekerasan HAM tidak hanya dilakukan oleh negara, melainkan juga oleh masyarakat yang ‘memaklumi’ keputusan pemerintah yang mengancam hak-hak individu atau kelompok tertentu. Lebih bahaya lagi jika hal ini menjadi normal untuk dilakukan karena ada pembiaran dari publik dan pemerintah. Oleh karena itu, diskusi ini menjadi hal yang penting untuk diketahui khalayak luas,” katanya.