Jakarta, Gatra.com- Indonesia menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak hari ini, Rabu 09/12 untuk memilih bupati/wali kota dan gubernur. Pilkada digelar di tengah wabah COVID-19 dimana Indonesia termasuk yang paling parah di Asia Tenggara. Aljazeera, 08/12.
Lebih dari 100 juta orang berhak memilih - sekitar sepertiga dari populasi- dengan jumlah pemilihan 270 di berbagai wilayah. Dan sembilan dari 34 provinsi ditetapkan untuk memilih gubernur.
Indonesia melaporkan lebih dari 586.000 kasus dan 18.000 kematian sejak pandemi dimulai - dan rekor tertinggi 8.369 kasus baru Kamis lalu - banyak yang khawatir Pilkada hanya akan memperburuk keadaan.
Laura Navika Yamani, dosen epidemiologi fakultas kesehatan masyarakat Universitas Airlangga di Surabaya, mengatakan Pilkada merupakan “risiko besar bagi masyarakat” mengingat Indonesia belum melewati puncak gelombang pertama virus Corona, dan terlalu sedikit tes yang dilakukan. “Ini terbukti dari tingkat kepositifan yang masih tinggi,” ujarnya kepada Al Jazeera.
“Melihat kondisi Indonesia saat ini, saya kurang setuju [dengan Pilkada], apalagi ada poster yang beredar bahwa panitia akan datang ke rumah sakit untuk mendapatkan suara dari pasien yang terinfeksi COVID-19,” imbuhnya. Hal itu mengacu pada rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengirimkan petugas bersetelan hazmat lengkap untuk membantu pasien Covid memberikan hak pilihnya.
Tingkat positif Indonesia mencapai 15,8 persen pada Selasa, dibandingkan dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia kepada pemerintah untuk mempertahankan angka di bawah 5 persen selama setidaknya 14 hari berturut-turut sebelum dibuka kembali dengan aman.
KPU telah memberlakukan langkah-langkah ketat untuk staf dan pemilih, dan mendistribusikan sarung tangan dan peralatan pelindung lainnya ke TPS di seluruh negeri untuk membantu menjaga keamanan.
“Saya dapat memahami situasi ini, tetapi kami sedang berupaya,” kata Ketua KPU Arief Budiman dalam webinar pada Senin tentang kekhawatiran terhadap pandemi. Dia menambahkan bahwa semua orang di KPU hingga ke TPS harus sehat sebelum diizinkan bekerja, tetapi tidak merinci apakah tes COVID-19 itu wajib. “Kami memastikan pemilih yang menggunakan hak pilihnya terlindungi dengan membuat protokol kesehatan dari masuk hingga keluar TPS,” ujarnya.
Adrianus Meliala, anggota Ombudsman Republik Indonesia, lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik di Tanah Air, sebelumnya meminta KPU untuk "mempercepat" penyaluran APD ke TPS, dengan mengatakan sekitar 70 persen dari peralatan masih ada di gudang KPU daerah seminggu sebelum pencoblosan. "Jadi mereka seperti tiga, empat hari terlambat dari jadwal," katanya kepada Al Jazeera.
Tidak ada laporan gangguan yang signifikan terhadap APD, kata Budiman, meskipun banjir di provinsi Sumatera Utara "cukup mengganggu" operasi di sana. Hingga Minggu malam, kata dia, data menunjukkan sedikitnya 87 persen sudah didistribusikan.
Dinasti Politik
Ada beberapa kandidat berasal dari keluarga pemimpin politik saat ini. Kandidat terkenal termasuk Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, dan Bobby Nasution, menantunya. Mereka mencalonkan diri sebagai Wali Kota Surakarta dan Medan.
Yoes Kenawas, seorang kandidat Doktor dalam ilmu politik di Northwestern University di Amerika Serikat, menemukan ada 52 kandidat seperti itu pada tahun 2015, tetapi setidaknya 146 orang untuk pemilihan tahun ini. "(Itu adalah) yang terbanyak dalam sejarah Indonesia sejauh ini," katanya.
Kenawas, yang juga pernah mempelajari dinasti politik di Indonesia, mengatakan peningkatan itu dimungkinkan karena banyak politisi yang terpilih pada 2010 dan 2015 sudah menjabat dua kali masa jabatan dan tidak bisa lagi mencalonkan diri. Banyak dari mereka melihat keluarga mereka sendiri sebagai kandidat terbaik untuk mempertahankan warisan dan kepentingan politik mereka.
“Ini yang pertama dalam sejarah Indonesia di mana anak-anak dan menantu presiden yang aktif, anak-anak wakil presiden bahkan anak menteri ikut serta langsung dalam pemilihan kepala daerah ketika orang tua atau kerabatnya masih menjabat,” ujarnya.
“Dinasti politik semakin terbukti sebagai indikator di mana ruang untuk bersaing, meski masih luas, semakin menyempit,” imbuhnya.
Orang Indonesia sendiri menentang dinasti politik - sebuah survei yang dilakukan pada bulan Juli tahun ini oleh sebuah perusahaan yang terkait dengan perusahaan media terkemuka Kompas, menemukan 60,8 persen responden tidak setuju dengan dinasti tersebut dan 67,9 persen responden berusia 17 hingga 30 tahun menganggap praktik semacam itu buruk.
Aisah Putri Budiatri, Peneliti Pusat Kajian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan pemilu tahun ini menunjukkan “kegagalan parpol dalam merekrut calon kepala daerah berdasarkan kader internal partai”.
“Banyak dari kandidat berbasis kekerabatan ini bukanlah politisi berpengalaman di bidang pencalonan dan belum membangun jaringan yang mengakar baik di dalam partai atau dengan komunitas di daerah pemilihan mereka,” katanya kepada Al Jazeera.