Home Milenial Sepenggal Cerita Dari Bawen

Sepenggal Cerita Dari Bawen

Ungaran, Gatra.com - Semburat jingga masih samar-samar berpendar di ufuk timur saat Gatra.com tiba di komplek seluas 16,5 hektar di kawasan Bawen, Ungaran Jawa Tengah itu Jumat subuh pekan lalu.

Komplek yang selama ini menjadi 'Kawah Condradimuko' nya mahasiswa Instiper Yogya untuk mengulik ragam tanaman perkebunan.

Di teras gedung sebelah kanan komplek yang kini disebut Kebun Pendidikan dan Penelitian (KP2) Stiper Edu Agro Tourism (SEAT) itu, dua orang lelaki dan satu perempuan yang masih berbalut mukenah, nampak duduk berhadapan.

"Wah, sampai subuh toh..." satu dari dua lelaki tadi menyapa ramah. Namanya Sundoro Sastro Wiratno. "Mau kopi jahe kayak gini?" lelaki 73 tahun ini menawari minuman di gelas kecil yang masih mengebulkan asap.

Lelaki di samping kirinya, Hartono, juga menimpali tawaran yang sama. Hartono adalah bekas mahasiswa Sundoro yang kini sudah menjadi asesor di sederet perusahaan. Lelaki ini bahkan pernah 24 tahun di perusahaan perkebunan kelapa sawit, Sinar Mas.

"Atau mau jahe asam? Ini seger juga, lho" perempuan di depan Sundoro ini menyodorkan pilihan lain, namanya Idum Satia Santi, juga bekas mahasiswa Sundoro yang kini mengajar Agroteknologi di Instiper Yogya.

Sambil menyeruput kopi panas bikinan Idum, kami pun larut menengok senam pagi mahasiswa baru Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) di halaman gedung itu, halaman yang juga diapit kantin berlantai dua di sebelah barat.

Ada sekitar 125 orang mahasiswa diploma satu itu berbaris ala protokol kesehatan. Seorang lelaki dari Paskhas TNI Angkatan Udara menjadi komando para 'Taruna Sawit' itu.

Taruna Sawit dari berbagai provinsi di Indonesia yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) lewat program beasiswa.

Sebetulnya ada 250 orang mahasiswa baru AKPY tahun ini. Mereka dibagi dalam dua rombongan kedatangan.

Yang sedang senam tadi adalah rombongan kedua. Rombongan pertama sudah landing sebulan lalu dan sekarang sudah di kampus Yogyakarta.

"Sudah lebih sepekan mereka di sini. Selain praktek lapangan, mereka juga menjalani pembinaan mental, fisik dan disiplin," cerita Idum kepada Gatra.com sambil mengitari komplek itu. Wakil Direktur AKPY ini yang menjadi pengasuh anak-anak itu selama di sana.

Khusus soal praktek lapangan tadi kata Idum, para mahasiswa diajari gimana persiapan lahan, pembibitan, perawatan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), Tanaman Menghasilkan (TM), pemupukan, pengendalian hama penyakit hingga pemanenan Tandan Buah Segar (TBS).

"Di AKPY ini kan ada dua program studi; Pembibitan Kelapa Sawit dan Pemeliharaan Kelapa Sawit. Nah nanti setelah 14 hari, mereka baru ke kampus Yogyakarta," ujarnya.

Mestinya kata Idum, para mahasiswa tadi tidak praktek dulu, tapi langsung ke kampus Yogyakarta. Tapi selama pandemi, praktek didahulukan, hitung-hitung sekalian mengkarantina para mahasiswa usai berdatangan dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia.

Zhulhijrah Rani Wita. Perempuan 18 tahun asal di Desa Prabumuli Dua, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), ini tak pernah menyangka bakal menjadi bagian dari mahasiswa yang 125 orang tadi.

Sebab meski punya sederet prestasi tingkat provinsi maupun nasional, bungsu dari tujuh bersaudara ini langsung tak berkutik setelah keadaan ekonomi orang tua memaksanya untuk tak berpikir jauh tentang masa depan.

Ayahnya Abu Hanifah 66 tahun hanya bisa mengandalkan kebun kelapa sawit 1,2 hektar di pekarangan rumah untuk menyambung hidup dan biaya perobatan istrinya Rukmini 56 tahun yang sejak lama diserang reumatik akut.

Itulah makanya walau bungsu, mantan anggota Paskibrakan Provinsi Sumsel ini harus pandai cari duit. Jualan kue dan sayuran pun dia jabani.

Untunglah waktu masih jadi siswa di SMK Pertanian Pembangunan Sembawa Banyuasin, Zhul sempat ikut pelatihan sawit di Palembang.

Imbas dari pelatihan itulah dia dapat pergaulan baru dan juga info tentang beasiswa sawit. "Sebenarnya saya lulus bibit unggul di Universitas Sriwijaya dan di Malang. Cuma enggak ada biaya untuk itu," cerita Zhul saat berbincang dengan Gatra.com di kantin lantai dua tadi. Dia ditemani Riko Rikaldo, mahasiswa asal Jambi.

Singkat cerita, perempuan ini lulus di AKPY. "Alhamdulillah duit tabungan hasil usaha, saya pakai untuk membeli bekal saat saya akan ke Yogyakarta. Insya allah setelah lulus nanti saya akan pulang kampung. Sebisa mungkin jadi pendamping PSR. Saya ingin ikut membangun daerah dan membantu orang tua saya. Saya ingin membanggakan mereka," suara perempuan ini mulai bergetar.

Riko Rikaldo juga punya keinginan yang sama. Seperti Zhul, walau dijejali sederet prestasi hingga ke provinsi Jambi, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini mentok menabur harap untuk kuliah lantaran keadaan orang tua.

Ibunya hanya seorang buruh tani di Kelurahan Tanjung Solok Tanjung Jabung Timur Provovinsi Jambi, yang harus mendayung perahu lebih dari dua jam untuk sampai ke kebun kelapa sawit milik orang lain.

Empat tahun mengurusi mahasiswa AKPY, Idum sudah familiar dengan kisah-kisah seperti yang dirasakan oleh Zhul maupun Riko tadi.

"Rata-rata anak-anak itu curhatnya ke kami. Itulah makanya lama kelamaan, mereka sudah kayak anak. Oleh kedekatan yang kami bangun, alhamdulillah kami lebih mudah mengarahkan dan mendidik mereka. Kebanyakan mereka sangat tahu diri. Tak sedikit di antara mereka menyisihkan duit sakunya untuk dikirim ke orang tuanya di kampung," cerita Idum.

Tak terasa matahari mulai meninggi. Gunung Ungaran yang tak jauh dari kantin tempat Zhul dan Riko bercerita tadi nampak semakin indah, seindah harapan generasi masa depan bangsa ini.

"Mudah-mudahan beasiswa BPDPKS ini terus ada dan bisa menjaring anak-anak seperti kami. Anak-anak berprestasi di desa-desa yang tak punya kesempatan untuk kuliah lantaran terbentur biaya," ujar Zhul.


Abdul Aziz

 

 

1745