Yogyakarta, Gatra.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye (APK) terbanyak terjadi di Gunungkidul di DIY dibanding Bantul dan Sleman yang menggelar pilkada tahun ini. Namun tak ada yang diproses hukum.
"Tercatat sejak 26 September sampai 5 Desember, di Gunungkidul kami menindak sebanyak 3.396 pelanggaran APK. Disusul Sleman 2.649 pelanggaran dan Bantul 816 pelanggaran. Total di tiga kabupaten itu ada 6.861 pelanggaran," kata anggota Bawaslu Divisi Penanganan Pelanggaran, Sri Rahayu Werdiningsih, Senin (7/12).
Dalam rincian laporan yang diterima dari Bawaslu Kabupaten, pelanggaran terbanyak APK di Gunungkidul oleh pasangan nomor urut 1, yakni 1.188 kasus. Disusul pasangan nomor urut 3 dengan 845 pelanggaran, paslon nomor 4 dengan 758 pelanggaran, dan paslon nomor 2 dengan 607 pelanggaran.
Dari Kabupaten Sleman, paslon nomor 3 melanggar 1.037 kasus, paslon nomor 1 dan 2 sama-sama melanggar 806 kasus. Di Bantul, paslon nomor 2 melanggar 412 kasus dan paslon nomor 1 dengan 404 kasus.
Sri juga menyampaikan bahwa Bawaslu, baik DIY maupun kabupaten, mendapatkan 30 pelanggaran. Bawaslu DIY menerima dua laporan, Sleman 9 laporan, Bantul 7 laporan, dan Gunungkidul 12 laporan.
"Dari 30 pelanggaran temuan dan laporan yang masuk, terdapat 9 laporan yang diduga masuk ranah pidana, namun tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak adanya bukti," ujarnya.
Sri mengakui laporan itu tidak bisa ditindaklanjuti ke ranah pidana karena banyaknya hambatan dari berbagai aturan, seperti minimnya waktu pemeriksaan oleh Bawaslu, yakni maksimal lima hari.
Hambatan lain, menurut dia, berupa perbedaan sudut pandang atas penanganan kasus antara kepolisian dan kejaksaan yang tergabung di sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan kurangnya alat bukti.
"Laporan tentang video tidak bisa kami lanjutkan karena tidak sinkronnya keterangan saksi menjadi kendala. Kepolisian dan kejaksaan tidak bisa menjadikannya alat bukti. Jika pun dilanjutkan, video yang dilaporkan butuh diteliti di lab dan itu membutuhkan waktu yang lama," katanya.
Namun Bawaslu menilai kampanye di masa pandemi menjadi tantangan terberat. Pendukung dan paslon ingin bertemu massa, tapi aturan melarang.
"Bahkan kasus 24 personel Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Gunungkidul tidak mau di tes rapid turut menjadi perhatian kita. Kita menunggu perkembangan dari KPU," kata Sri.
Aktivis Jogja Corruption Watch (JCW) Baharuddin Kamba menyatakan telah menggelar aksi di Bawaslu Sleman, Bantul, dan Gunungkidul untuk menolak praktik politik uang.
"Aksi ini sebagai edukasi ke masyarakat bahwa pada 9 Desember tidak memilih paslon yang memainkan politik uang atau menyalahgunakan bantuan sosial. Pada dasarnya, politik uang menghasilkan kepala daerah yang korup," katanya.