Bandung, Gatra.com - Hari AIDS Sedunia (HAS) bukan momentum yang pantas untuk dirayakan. HAS lebih tepat dijadikan sebuah peringatan bagi semua orang bahwa HIV / AIDS telah merenggut banyak nyawa.
HIV / AIDS juga telah jadi epidemi yang hingga kini masih mengancam dunia. Tidak ada alasan tepat untuk menjadikan HAS sebagai momentum selebrasi.
Demikian terungkap dalam Konferensi Pers ”Kolaborasi di Tengah Selebrasi” yang digelar Indonesia AIDS Coalition (IAC), secara online, Rabu (2/12).
Kegiatan yang dilakukan untuk memperingati HAS 2020 ini, sekaligus mengingatkan berbagai pihak agar tidak salah menafsirkan makna Hari AIDS Sedunia.
Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana mengatakan, saat ini Indonesia masih belum dapat mengendalikan HIV-AIDS dengan baik.
“Apa yang mau dirayakan, perangkat obat ARV saja masih bermasalah. Belum lagi situasi wabah Covid-19 yang berdampak luar biasa, termasuk bagi ratusan ribu orang dengan HIV di Indonesia,” katanya dalam Konferensi Pers “Matinya Kolaborasi di Tengah Selebrasi” yang digelar Indonesia AIDS Coalition (IAC), secara online, Rabu (2/12).
Aditya juga menyayangkan peringatan HAS yang lebih mirip dengan kegiatan hura-hura atau selebrasi, pengeluaran refleksi tentang banyaknya masalah HIV / AIDS yang masih harus diatasi.
Ia juga menyesalkan dalam situasi kritis seperti saat ini, Kementerian Kesehatan malah menggelar puncak peringatan HAS tahun ini di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
“Mereka tidak peka. Kita semua tahu Labuan Bajo adalah tempat wisata yang eksotik. Tapi apa relevansinya dengan Hari AIDS? Tingkat penularan HIV di sana tidak ada di Papua, misalnya. Saya bisa memahami jika kegiatan itu dilakukan di Papua atau di tempat lain yang memang angka kasus HIV-nya tinggi, sehingga relevan,” katanya.
Senada Proksi Direktur Eksekutif Rumah Cemara Aditia Taslim. Menurutnya, momentum HAS itu bagus untuk melihat situasi yang ada.
“Masih ada ribuan kematian terkait AIDS. Ada ratusan ribu orang dengan HIV yang belum mendapat pengobatan. Hal semacam ini yang harusnya jadi refleksi dalam Hari AIDS,” ujarnya.
Ia menambahkan, sejumlah kegiatan yang dilakukan Kementerian Kesehatan dalam puncak peringatan HAS tidak mencerminkan refleksi itu.
“Contohnya, kegiatan untuk menciptakan record MURI tes HIV terbanyak di 34 provinsi di Indonesia,” terangnya.
Sementara itu, Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi, Natasya Sitorus menilai, kegiatan yang bersifat selebrasi menyakiti perasaan orang dengan HIV.
Ia menuturkan, jika anak-anak dengan HIV bisa bersuara, tentu mereka juga akan bersuara sama.
Konferensi Pers juga dihadiri pembicara lain di antaranya Meirinda Sebayang, Ketua Sekretariat Jaringan Indonesia Positif (JIP), dan Baby Rivona, Ketua Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).
Narasumber menarik dari penggunaan tema HAS 2020 dari pemerintah, yaitu Perkuat Kolaborasi, Tingkatkan Solidaritas.
Mereka menilai, kolaborasi yang berlangsung selama ini belum terjadi dengan sungguh-sungguh. Komunitas orang dengan HIV selama ini membantu diajak bekerja sama atau dilibatkan dalam sebuah kegiatan hanya sebatas menggugurkan kewajiban.
“Kolabroasi semu. Bagaimana pun, kriminalisasi pada pengguna napza masih terjadi. Lalu kelompok seperti transpuan, pekerja seks, atau LGBT saja masih dikejar-kejar. Bagaimana mungkin kolaborasi bisa terjadi kalau keberadaan komunitas ini masih dikejar-kejar dan dimasukan ke penjara,” kata Aditya.
Menurutnya, fakta yang bertentangan dengan makna kolaborasi itu sendiri.
Laporan Kementerian Kesehatan RI terbaru menunjukkan, jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2020 mengalami kenaikan tiap tahunnya.
Jumlah kumulatif KASUS HIV yang dilaporkan sampai dengan September 2020 sebanyak 409.857 kasus. Sementara itu, jumlah kasus AIDS relatif stabil setiap tahun, dengan akumulasi hingga Juni 2020 sebanyak 127.873 kasus.
Saat ini kasus HIV / AIDS telah dilaporkan oleh 484 kabupaten dan kota atau 94 persen dari total kabupaten kota di seluruh Indonesia.