Jakarta, Garta.com - Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.H., mengatakan masyarakat hukum adat mempunyai kearifan lokal dalam menghadapi, mencegah, dan menanggulangi penyebaran Covid-19.
"Bagaimana masyarakat hukum adat melawan Covid-19 Masyarakat hukum adat pada umumnya menerima bahwa Covid-19 ini sebagai ketetapan dari Tuhan Yang Maha Esa, dari religiusitasnya," kata Laksanto dalam webbinar bertajuk "Peran Hukum Adat dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19" pada Rabu (2/12).
Menurutnya, masyarakat hukum adat meyakini bahwa wabah ini merupakan cobaan dahsyat dari Tuhan yang membutuhkan kebersamaan untuk menghadapinya. Mereka juga menjunjung keselamatan manusia yang sangat tinggi.
Masyarakat hukum adat juga sangat taat kepada pemerintah dan kepala adat, taat aturan atau asas, tidak berdebat saling menyalahkan apalagi mencari kambing hitam. Bencana alam maupun wabah penyakit melahirkan soliditas dan solidaritas masyarakat hukum adat untuk menghadapinya.
Selain itu, beberapa masyarakat hukum adat di Tanah Air memiliki kebiasan untuk mencegah penyakit atau wabah, di antaranya membiasakan mencuci tangan dan kaki sebelum masuk ke rumah. Kebiasaan tersebut dapat dijumpai karena di depan rumah, mereka menyiapkan tempayan atau guci untuk air.
"Yang bisa dilakukan oleh masyarakat hukum adat, antara lain menempatkan guci di depan rumah. Ini terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jabar untuk mencuci tangan dan kaki. Ini merupaka kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus," ungkapnya.
Pola yang sama juga dilakukan oleh masyarakat hukum adat di daerah atau wilayah Pulau Sumatera. Di bawah rumah panggung tersedia belanga untuk mencuci tangan dan kaki.
"Kita melihat di beberapa rumah di daerah Lombok juga demikian, menempatkan tempayan untuk mencuci tangan dan kaki," ujarnya.
Suku Baduy, lanjut Laksanto, juga mempunyai hal serupa. Adapun Suku Anak Dalam (SAD), melakukan tradisi besesandingon, yakni mengasingkan diri dari orang yang diduga mengidap penyakit atau sakit.
Selanjutnya, masyarakat hukum adat Banua Lemo, Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), membuat ramuan alami berbahan daun sirih dan jeruk nipis untuk mecegah penyebaran penyakit. "Ini cairan 'disinfektan' alami," katanya.
Selanjutnya, suku Mbojo di Nusa Tenggara Barat (NTB), menggunakan pakaian tertentu sejenis hijab yang menutup bagian wajah. "Ini seperti masker untuk menghindari penyakit," katanya.
Adapun suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid (Usahid) Jakarta yang akrab disapa Laks ini, yakni memiliki ritual Mamparasih Lebu atau membersihkan kampung dari makhluk lain.
Menurut Laksanto, beberapa pemerintah daerah mendukung diberlakukannya hukum adat untuk mencegah penyebaran Covid-19, di antaranya di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Kalbar).
"Ini kebijakan dari Carolin Margret, memberikan peran kepada masyarakat adat setempat untuk menerapkan hukum adat bagi orang ODP," katanya.
Di akhir pemaparannya, Laksanto menjelaskan bahwa hukum adat adalah hukum yang sesuai dengan jiwa bangsa yang ada sebelum Indonesia berdiri. Hukum adat mengatur perilaku pergaulan hidup dalam masyarakat adat, termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antarwarganya, serta soal pencegahan penyebaran wabah melalui ritual dan keyakinan masyarakat.
Menurut Laksanto, masyarakat hukum adat tetap eksis dan mewarnai serta membingkai bangsa Indonesia. Pengabaian terhadap hukum adat adalah sebuah kesesatan pikir yang sejatinya tidak perlu terjadi.
"Berikan ruang dan peran kepada masyarakat hukum adat agar dapat memaksimalkan kontribuisnya dalam pembangunan nasional di segela bidang," ujarnya.