Semarang, Gatra.com- Kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah hukum Semarang menunjukan grafik naik 10-15 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang Raden Rara Ayu Herawati Sasongko SH mengatakan, saat ini kasus yang ditangani LBH APIK naik 10-15 persen dari tahun sebelumnya dengan kasus yang masuk terbanyak terkait kekerasan seksual kepada anak.
Menurut RR Ayu, secara keseluruhan lembaganya telah menangani sebanyak 82 kasus dengan perincian, untuk kekerasan seksual ada 35 kasus, ada juga KDRT dan kekerasan seksual kepada anak.
"Tahun ini kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis online sudah ada 10 wanita yang jadi korbannya" kata Raden Rara Ayu Herawati Sasongko, saat dihubungi wartawan Senin(30/11).
Ayu menjelaskan, modus para pelaku terhadap korbannya adalah dengan dipaksa melakukan hubungan seksual dengan ancaman akan menyebarluaskan foto-foto syurnya
Ayu menjelaskan, kasus itu muncul lantaran si wanita mengaku resah karena diancam foto syurnya disebarkan oleh pacarnya jika tidak dituruti melakukan hubungan seksual. Ayu mengaku kini mulai banyak korban yang berani melaporkan kasus ancaman tersebut kepada pihaknya.
Kebanyakan, ungkap Ayu korban yang melaporkan berusia 18-25 tahun. Ada wanita yang jadi korban ancaman pacarnya itu masih duduk di bangku sekolah, baru lulus sekolah bahkan ada yang sudah bekerja.
"Korbannya ada yang mahasiswa dan ada yang sudah bekerja. Untuk hari ini saja, ada lulusan SMA yang melaporkan kasusnya kepada kami. Dia juga diancam sama pacarnya akan disebarluaskan foto syurnya. Nah, kekerasan berbasis online ini cukup banyak kita temukan tahun ini," kata Ayu.
Saat melapor melalui akun medsos resmi LBH Apik maupun via hotline, setiap korban sering diliputi perasaan was-was ketika pacarnya meminta berhubungan intim.
Tak jarang korban juga diancam foto vulgarnya diposting ke media sosial (medsos) dan disebar ke akun WhatsApp teman-teman pacarnya. "Maka kita mendesak pemerintah supaya segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) agar dapat memberikan perlindungan kepada korban," kata Ayu.
Ayu khawatir, bila RUU PKS belum di sahkan, akan menimbulkan ketakutan dari para korban karena belum ada payung hukum yang resmi, sehingga korban bisa dikriminalisasi karena dianggap menyebarkan pornografi. Sejauh ini, kasus yang sudah diproses pihak kepolisian ada 10 dan dua di antaranya sudah masuk pengadilan.
"Yang jelas kota dorong negara Indonesia segera mengesahkan RUU PKS. Ini sudah urgent agar dapat melindungi korban dari pihak wanita dan laki-laki," ujar Ayu.
Dengan disahkannya RUU PKS, nantinya pemerintah bisa mengcover hak pemulihan psikologis bagi korban. Sehingga trauma yang terpendam selama ini bisa dihilangkan.
Terlebih lagi, para korban kekerasan seksual terkadang malu melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian karena tidak punya akses pemulihan psikologis.
Menurutnya ini justru membuat korban berubah menjadi pelaku kekerasan seksual mengingat kasus yang dialaminya seolah dibiarkan begitu saja.
Di sisi lain, dari proses penanganan hukum yang sudah dilakukan LRC-KJHAM, kasus kekerasan terhadap perempuan sekitar 154 kasus. Yang mendominasi munculnya 81 kasus perbudakan seksual, 26 KDRT, 23 kasus perkosaan, 16 kasus pelecehan seksual, sisanya kekerasan dalam pacaran dan human traficking. Ditilik , para korbannya merupakan wanita dewasa sejumlah 89 atau 55,7 persen.