Jakarta, Gatra.com- Pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa kondisi harga gas murah dan diikuti oleh adanya ketidakjelasan pasar akan membuat tingkat Return of Investment (RoI) dari sebuah proyek pembangunan infrastruktur gas bumi menjadi lama. "Semakin rendah harga gas, maka semakin tipis margin yang bisa didapat pengembang," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Senin (29/11).
Menurut Komaidi, hal ini akan membuat pelaku usaha sulit membangun infrastruktur baru. Sebab penurunan harga gas di tengah masa pandemi Covid-19 belum memberikan dampak signifikan bagi industri pengguna.
Dalam hal ini, lanjut Komaidi, penurunan harga gas tidak mendongkrak volume produksi maupun penjualan industri pengguna gas. "Tujuan penurunan harga gas memang baik bagi industri, tapi momentumnya tidak dapat," ia menegaskan.
Komaidi menyebut, penurunan harga gas yang diinisiasi pemerintah lewat Kementerian ESDM sangat terburu-buru. Kebijakan ini terkesan hanya untuk memenuhi peraturan yang sudah lama dibuat tapi tidak kunjung terlaksana.
Sebelumnya, kata Komaidi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016, tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Dalam Perpres tersebut, pemerintah menetapkan harga gas bumi yang sebelumnya US$7 per Million British Termal Unit (MMBTU) diturunkan menjadi US$6 per MMBTU.
Pada 6 April 2020 Menteri ESDM merilis Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020, tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Pasal 3 ayat 1 peraturan itu mengatur harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar US$6per MMBTU.
Ada tujuh sektor industri yang dapat harga khusus dari kebijakan harga tersebut. Yakni industri pupuk, petrokimia, dan oleochemical. Juga baja, keramik, serta kaca dan industri sarung tangan karet.
Sebagai dampak kebijakan tersebut pemerintah rela jatahnya dari penjualan migas di hulu dipangkas sekitar US$2 per MMBTU. Beleid ini bisa jadi bumerang, karena dengan margin terbatas, perusahaan akan lebih memilih risiko terendah, yakni mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya.
Ditegaskan Komaidi, hal ini akan sangat berat jika memaksa perusahaan yang marginnya dipangkas oleh kebijakan pemerintah untuk membangun infrastruktur gas bumi. "Kecuali ada insentif yang memberikan solusi bagi pengembang infrastruktur bahwa bisnis mereka tetap sehat ketika ekspansi," tandasnya.
Jika investor melihat investasi di tempat lain, misalnya bisa mendapat internal rate of return (IRR) sebesar 12%, sedangkan infrastruktur migas lebih rendah indikator tingkat efisiensi dari suatu investasinya lebih rendah, Komaidi khawatir tidak akan ada investor yang mau berinvestasi untuk mengembangkan infrastruktur gas.
Sehingga dampaknya bisa membuat pengembangan infrastruktur gas melambat. Pada akhirnya, target Pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik pun sulit terealisasi karena infrastrukturnya tidak tumbuh.