Home Hukum LPSK Siap Lindungi Saksi Kasus Korupsi Izin Ekspor Benur

LPSK Siap Lindungi Saksi Kasus Korupsi Izin Ekspor Benur

Jakarta, Gatra.com – Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo, mengatakan, LPSK siap melindungi saksi kasus dugaan korupsi izin ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang membelit Edhy Prabowo dkk.

Hasto dalam keterangan tertulis, Kamis (26/11), menyampaikan, terkait kasus suap sejumlah Rp3,4 miliar ini, pihaknya sudah berkoordinasi dengan KPK untuk melindungi para saksi.

"Perlindungan diperlukan agar para saksi dalam kasus ini dapat memberikan informasi tanpa adanya intimidasi atau potensi ancaman lain," katanya.

Hasto menyampaikan, jika saksi dapat memberikan informasi secara aman, mereka dapat membantu KPK mengungkap dugaan korupsi pada izin ekspor benih lobster ini.

“Cukup banyak pihak berkepentingan terhadap ekspor benih lobster, apalagi setelah keran izinnya dibuka kembali oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang sekarang jadi tersangka,” ujarnya.

Menurut Hasto, perlindungan terhadap para saksi sebaiknya dilaksanakan oleh LPSK. Selain karena perlindungan saksi oleh LPSK diatur peraturan perundangan-undangan, hal ini juga bertujuan untuk menghindarkan terjadinya conflict of interest dalam pengungkapan kasusnya.

Selain perlindungan saksi, Hasto juga mengimbau kepada tersangka kasus ini agar mau bekerja sama memberikan informasi kepada penegak hukum, untuk menjadi saksi pelaku atau justice collaborator (JC). “[Kepada JC] juga dapat diberikan perlindungan,” ujarnya.

Pada Pasal 10A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan, saksi pelaku dapat diberikan penanganan khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksiannya.

Penanganan khusus maksudnya pemisahan tempat tahanan, pemisahan pemberkasan, dan memberikan kesaksian di pengadilan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Pengahargaan atas kesaksian saksi pelaku berupa keringanan penjatuhan pidana, pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasto menjelaskan, peran JC dapat membuat kasus ini lebih terang guna mengungkap pelaku utama lain dalam kasus korupsi terkait izin ekspor benin lobster ini.

“Dugaan tindak pidana korupsi izin ekspor benih lobster ini menarik perhatian publik. Karena sejak ekspor benih lobster kembali diperbolehkan, terjadi pro dan kontra di masyarakat,” ujar Hasto.

KPK menetapkan 7 orang tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.

Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, mengatakan, 7 orang tersangka yakni sebagai pemberi adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito. "KPK menetapkan tersangka sebagai penerima EP (Edhy Prabowo), SAF (Safri), APM (Andreu Pribadi Misata), SWD (Siswadi), AF (Ainul Faqih), AM (Amiril Mukminin)," kata Nawawi dalam konferensi pers di Gedung Penunjang Merah Putih KPK Jakarta, Rabu (25/11).

Edhy diduga menerima Rp3,4 Milyar yang diperuntukkan bagi keperluannya beserta istri dan stafnya Safri dan Andreu Pribadi yakni antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah di Honolulu AS ditanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta diantaranya berupa Jam tangan rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.

"Disamping itu pada sekitar bulan Mei 2020, EP juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$100.000 dari SJT melalui SAF dan AM. Selain itu SAF dan APM pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total sebesar Rp436 juta dari AF," jelas Nawawi.

Para tersangka saat ini dilakukan penahanan rutan selama 20 hari terhitung sejak tanggal 25 November 2020 sampai dengan 14 Desember 2020 masing-masing bertempat di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih untuk Tersangka Edhy Prabowo, Safri, Siswadi, Ainul Faqih, dan Suharjito.

Para Tersangka sebagai penerima tersebut disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

77