Asahan, Gatra. com- Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) III Asahan-Labura Dinas Kehutanan Provinsi Sumut, Wahyudi, mengakui mayoritas perusahaan perkebunan swasta yang terindikasi merambah kawasan hutan di kabupaten Asahan, Sumatera Utara tidak mengantongi izin pelepasan dari Menteri Kehutanan.
Namun dia mengklaim tidak ada satupun perusahaan perkebunan swasta tersebut yang menggarap dalam kawasan hutan lindung. "Sudah saya tengok itu. Kalaupun ada dalam kawasan (hutan lindung-red) tapi itu sudah masuk dalam HPK, hutan produksi yang dapat di konversi,"jawabnya
Pernyataan ini ditegaskannya menjawab pertanyaan wartawan tentang pengalihfungsian lahan hutan negara menjadi areal perkebunan di kabupaten Asahan Sumatera Utara yang semakin tinggi.
Wahyudi berdalih, tidak adanya selama ini penegakan hukum terhadap aksi perambahan hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan swasta itu karena perizinan masih dalam proses pengurusan.
Dia mengatakan, sebagian dari perusahaan swasta perkebunan tersebut sudah ada yang mengurus izin prinsip dari pemerintah daerah. Namun proses pengurusan perizinan menjadi terkendala dengan keluarnya regulasi moratorium izin kelapa sawit lewat Inpres nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Izin Perkebunan Kelapa Sawit.
'Kita sudah koordinasi dengan kementerian, kita disuruh nunggu Omnibuslaw. Sekarang Omnibuslaw sudah disahkan maka kita masih menunggu peraturan Menterinya," kata dia.
Jawaban Wahyudi ini bertolak belakang dengan fakta yang ditemukan. Soalnya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta tersebut telah puluhan tahun beroperasi dan diduga melakukan perambahan tanpa izin. Namun tidak pernah ditindak secara hukum.
Perlakuan berbeda diberikan Dishut Pemprovsu dalam penanganan kasus alihfungsi kawasan hutan di kabupaten Labuhan Batu Utara (Labura). Seluas 1300 hektar areal perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan lindung Simandulang kecamatan Kualuh Leidong dieksekusi oleh Tim Terpadu Operasi Pemulihan Perusakan Kawasan Hutan (PPKH) Provinsi Sumut pada tahun 2017.
Padahal, dibanding dengan kawasan hutan Bandar Pulau, perambahan besar-besaran lebih parah dilakukan di dalam kawasan ini. Ribuan hektar hutannya telah rusak dan beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta yang diduga banyak diantaranya bukan saja tidak mengantongi izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan, tapi juga HGU, dan izin usaha budidaya perkebunan (IUP-B).
Sangat kontrasnya lagi wartawan banyak menemukan plank-plank yang didirikan Dinas Kehutanan Provsu dalam kawasan areal perkebunan kelapa sawit yang menyatakan kawasan perkebunan tersebut sebagai kawasan hutan negara. Plank-plank ini tersebar di banyak tempat. Padahal di atas areal tersebut tidak terdapat lagi meskipun hanya sebatang tegakkan tanaman hutan.
Pengamat hukum menilai, Dinas Kehutanan Pemprovsu tidak tegas dalam menyikapi persoalan pengalihan fungsi hutan di daerah ini.
Direktur LBH Publik, Fadli Harun menilai, seharusnya Dishut sudah bisa mengeksekusi areal perkebunan sawit diatas hutan negara yang digarap tanpa izin Menhut itu untuk mengembalikan fungsi hutan. Seperti yang dilakukan Dishut Provsu terhadap ribuan hektar areal perkebunan sawit di kabupaten Labura. "Secara hukum bisa dieksekusi. Karena sudah puluhan tahun merambah tanpa izin,"katanya.
Soalnya menurut praktisi hukum ini, aksi pelanggaran hukum itu berpotensi menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Soalnya jika legalitasnya saja diragukan besar kemungkinan kewajiban-kewajiban dari perusahaan tersebut ke negara tidak dipenuhi.
Fadli menilai sudah saatnya pemerintah melalui Pemrovsu melakukan eksekusi seluruh areal di kawasan itu yang terindikasi digarap secara tidak sah. "Cuma kita heran juga kenapa perusahaan-perusahaan perambah itu sangat nyaman selama ini,"ungkapnya.