Home Kesehatan Balita Rentang Usia Ini Banyak Mengonsumsi Kental Manis

Balita Rentang Usia Ini Banyak Mengonsumsi Kental Manis

Jakarta, Gatra.com – Bayi di bawah lima tahun (balita) masih relatif banyak mengonsumsi kental manis. Usia 3–4 tahun paling tinggi, yakni 26,1%, menyusul usia 2–3 tahun 23,9%, 1–2 tahun 9,5%, 4-5 tahun 15,8%, dan 5 tahun 6,9%.

Demikian hasil penelitian teranyar dari Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah dan PP Muslimat NU melanjutkan penelitian sebelumnya mengenai Persepsi Masyarakat tentang Kental Manis.

Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat, dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com di Jakarta, Minggu (22/11), menyampaikan, dari rentang usia tersebut, 6,9% anak usia 5 tahun tersebut mengonsumsi kental manis sebagai minuman sehari-hari.

Menurutnya, dari penelitian yang kali ini dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan Maluku dengan total respondennya 2.068 orang ibu yang memiliki anak usia 0–59 bulan atau 5 tahun tersebut, kecukupan gizi anak yang mengonsumsi kental manis sangat mengkhawatirkan.

Berdasarkan kecukupan gizinya, sebanyak 13,4% anak yang mengonsumsi kental manis mengalami gizi buruk, 26,7% berada pada kategori gizi kurang, dan 35,2% adalah anak dengan gizi lebih.

"Dari masih tingginya persentase ibu yang belum mengetahui penggunaan kental manis, terlihat bahwa memang informasi dan sosialisasi tentang produk kental manis ini belum merata, bahkan di ibu kota sekalipun," ungkapnya.

Arif menjelaskan, penelitian untuk wilayah DKI Jakarta dan. Jawa Barat dilakukan oleh PP Aisyiyah. Sedangkan wilayah Jawa Timur, NTT, dan Maluku dilakukan oleh PP Muslimat NU. Pembagian wilayah penelitian ini dilakukan mengingat pada saat penelitian dilakukan terkendala pandemi Covid-19. Sehingga proses pengisian daftar pertanyaan oleh responden harus dilakukan dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19.

"Ini merupakan lanjutan dari penelitian tahun lalu. Kami ingin melihat pola konsumsi dan persepsi di provinsi-provinsi dengan memiliki kota besar dan berpenduduk padat," ungkapnya.

Angka-angka di atas tidak luput dari pemahaman orang tua terhadap kental manis. Sebanyak 28,96% dari total responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan dan sebanyak 16,97% ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari.

Selain itu, ditemukan sumber kesalahan persepsi, yakni sebanyak 48% ibu mengakui mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak dari media, baik TV, majalah atau koran dan juga sosial media, dan 16,5% mengatakan informasi tersebut didapat dari tenaga kesehatan.

Sementara itu, Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Chairunnuisa, mengatakan, media sangat memiliki peran penting di dalam memberikan persepsi kepada masyarakat. "Betul, bahwa memang media ini memiliki peran penting di dalam memberikan persepsi kepada masyarakat tentang susu kental manis (SKM) adalah susu," ujarnya.

Chairunnisa menjelaskan bahwa kader dari Aisyiyah masih perlu diberikan literasi mengenai SKM adalah bukan susu. "Aisyiyah berkewajiban untuk memberikan sosialisasi dan melakukan edukasi kepada kader, menyampaikan bahwa SKM jangan dipahamkan sebagai susu karena itu adalah sebagai topping atau penambah rasa," ujarnya.

Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Chairunnuisa, mengatakan, media sangat memiliki peran penting di dalam memberikan persepsi kepada masyarakat soal kental manis. (Ist/Wan)

Sedangkan Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, Erna Yulia Soefihara, mengatakan bahwa ia dan kadernya di seluruh Indonesia mencoba untuk mengubah persepsi bahwa SKM itu bukanlah susu yang bisa diminum untuk balita.

"Memang sangat sulit ya, saat kita melakukan sosialisasi itu karena sudah begitu lama di mereka itu bahwa susu kental manis itu sehat," kata Erna.

Untuk mengubah persepsi tersebut, Erna dan kader Muslimat NU menggunakan cara tersendiri untuk menyosialisasikan bahwa SKM itu bukan susu. Sosialisasinya dengan mengadakan lomba membuat makanan versi mereka masing-masing sesuai dengan potensi lokal yang ada dengan dicampur susu kental manis.

"Jadi kita ingin memberikan pemahaman kepada mereka bahwa ini bukan susu, tapi kental manis. Dan alhamdulillah mereka sedikit paham, mindset mereka sudah mulai berubah, kami juga pantau terus untuk mengetahui perkembangan bagaimana pemahaman ibu-ibu," ujarnya.

Public Policy Observer Sofie Wasiat menanggapi hasil penelitian tersebut, mengatakan, meski tulisan ‘susu’ pada SKM sudah dihilangkan, tetapi kata Susu Kental Manis masih digunakan di ecommerce padahal sejak Tahun 2018 melalui Perka BPOM No. 31 itu sudah diperintahkan untuk menghilangkan kata-kata susu, dari susu kental manis menjadi kental manis. Promosi susu kental manis tidak hanya dilakukan oleh seller, tetapi juga oleh produsen.

"Itu artinya, masih ditemukan niat yang kurang sportif terhadap program pemerintah untuk memperbaiki gizi anak-anak kita. Perlu ada aturan dari BPOM terkait hal tersebut dan UU itu untuk produsen," ujar Sofie.

Selain melaksanakan penelitian, sepanjang tahun 2020, YAICIbersama PP Aisyiyah dan PP Muslimat NU dan didukung oleh mitra-mitra lainnya juga gencar melakukan sosialisasi dan edukasi untuk masyarakat secara daring.

Sebanyak 12.560 orang kader kedua organisasi perempuan terbesar di Indonesia ini tersebar di 34 provinsi dan beberapa cabang di luar negeri telah terpapar edukasi tentang kental manis.

“Kami telah berkomitmen melakukan edukasi yang berkelanjutan bagi masyarakat, dalam rangka mewujudkan generasi yang unggul dimasa mendatang," kata Arif.

Menurutnya, pandemi Covid-19 memang sempat menjadi hambatan dalam mengedukasi masyarakat tahun ini. Akibatnya, tentu sosialisasi tahun tidak seefektif dengan edukasi secara langsung kepada masyarakat.

"Tapi bagaimanapun, upaya ini tidak boleh terhenti, karena itulah kami berharap hasil penelitian ini dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan parstisipasinya dalam mengedukasi masyarakat," tandas Arif.

428