Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H., berpendapat bahwa instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan (Prokes) tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mencopot atau memberhentikan kepala daerah.
Menurut Fahri, instruksi Mendagri terkait pengendalian penyebaran coronavirus diesase-19 (Covid) tersebut bukan produk hukum yang berisi perangkat norma atau kaidah rechtsregel yang mempunyai sifat memaksa.
"Instruksi Mendagri No.6/2020 bukan fasilitas hukum untuk pemberhentian kepala daerah," kata Fahri dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com di Jakarta, Jumat (20/11).
Pada hakikatnya, lanjut Fahri, suatu instruksi merupakan perintah atau arahan untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas atau petunjuk dari atasan kepada bawahan jika dalam sebuah lingkungan instansi atau jabatan.
"Dengan demikian, secara teoritis beleid atau instruksi itu bukan merupakan produk yang bersifat hukum yang pada dasarnya memuat perangkat norma dan kaidah," ujarnya.
Menurut Fahri, dalam teori perundang-undangan, instruksi tidak berada dalam struktur dan hirarkis peraturan perundang-undangan. Kemudian, jika mengacu pada UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, khususnya ketentuan Pasal 7 Ayat (1), menyebutkan jenis dan hirarki peraturan perundang undangan.
Hirarki perundang-undang menurut Pasal 7 Ayat (1), terdiri dari UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, Perda kab/kota. Dengan demikian maka Beleeid selain dari jenis perundang-undangan seperti yang diatur oleh UU PPP adalah bukan bersifat regeling atau mengatur yang dapat mengatur sanksi ataupun larangan terhadap sesuatu.
"Terkait dengan materi muatan instruksi sepanjang berkaitan dengan sanksi pemberhentian kepala daerah yang diangap serta dapat dikualifisir melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Perundang-undangan yang dilanggar tersebut, lanjut Fahri, khususnya UU RI No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU RI No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; dan serta berbagai peraturan derifatif dari UU tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah kurang proporsional serta cenderung eksesif.
Fahri menyebutkan, ada semacam surplus kebijakan yang pada akhirnya instruksi tersebut sulit dan tidak dapat dieksekusi karena tidak sejalan dengan prinsip hukum. Menurutnya, jika dilihat dari optik hukum tata negara, proses pengisian kepala daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan mengedepankan prinsip daulat rakyat.
Dengan demikian, kata Fahri, secara teoritik proses pemberhentian kepala daerah tentunya melalui mekanisme yang melibatkan rakyat yaitu lembaga perwakilan (DPRD). Secara khusus prosudur pemberhentian kepala daerah telah diatur sedemikian rupa dalam UU RI No. 23 Tahun 2014, khususnya ketentuan norma Pasal 79 sampai dengan pasal 82 terkait Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Secara teknis yuridis, konstruksi pranata pemakzulan (impeachment) kepala daerah yaitu melalui pintu DPRD setempat dan kemudian diajukan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD apakah kepala daerah atau wakil kepela daerah itu dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, atau MA memeriksa dugaan pelanggarannya menurut hukum.
Fahri menegaskan bahwa secara konstitusional, tindakan pemberhentian kepala daerah hanya dapat dilakukan dengan alasan hukum berdasarkan putusan MA, serta prosudur yang ketat berkaitan dengan proses pemakzulan kepala daerah sebagaimana telah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.
Pemberhentian seorang kepala daerah harus murni (pure) berdasarkan postulat-postulat hukum, dan tidak bisa secara politis, karena itu sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis.
"Sehingga saya berpendapat bahwa Instruksi Mendagri bukan merupakan suatu instrumen serta fasilitas hukum yang memadai untuk melakukan tindakan pemberhentian kepala daerah," ujarnya.
Pasalnya, lanjut Fahri, materi muatan hukum mengenai pemberhentian kepala daerah adalah materi UU, bukan materi kebijakan teknis yang derajatnya dibawah UU. Ia melihat UU No.23/2014 cukup jelas mengatur kebutuhan hukum terkait hal yang demikian, sehingga tidak perlu difasilitasi dengan instrumen atau beleeid berupa instruksi.
"Sebab nantinya akan berpotensi menimbulkan berbagai prasangka serta tafsir yang berbeda-beda di tengah masyarakat, yang pada akhirnya menguras energi bangsa ini dengan ragam perdebatan yang destruktif," katanya.