Pekanbaru, Gatra.com - Rapat Penetapan Harga Tandan Buah Segar (RPH-TBS) Kelapa Sawit periode 1-15 November 2020 di Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumatera Barat (Sumbar) di Padang, Kamis pekan lalu, sempat gaduh.
Perwakilan Koperasi Unit Desa (KUD) yang ikut dalam rapat penetapan harga itu, protes dengan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) yang dibikin oleh anak perusahaan Wilmar Group, PT.Gresindo Minang Plantation (GMP).
Sudahlah angka BOTL melebihi batas yang dibolehkan dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 1 tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga TBS, perusahaan yang punya kebun dan plasma di Kabupaten Pasaman Barat itu tak pula transparan soal penggunaan duit itu.
"Sesuai Permentan, duit BOTL itu kan maksimal 2,63%. Ini dibikin pula sampai 2,7 persen. Sudah begitu, saat ditanya untuk apa saja peruntukan duit itu, tidak bisa diuraikan dengan jelas. Inilah yang membuat petani protes," kata Wakil Sekretaris DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumbar, Wily Nofranita, kepada Gatra.com, kemarin. Perempuan ini ikut dalam rapat penetapan harga itu.
Ketua Tim Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit Dinas Tanaman Pangan Hortikulturan dan Perkebunan Sumbar, Agustian, tidak menampik kisruh yang terjadi pada penetapan harga Kamis pekan lalu itu.
"Sebenarnya kalau perusahaan itu transparan dan bisa memberikan rincian penggunaan duit BOTL itu, petani enggak keberatan. Tapi ini enggak. Saat ditanya untuk apa saja duit itu, perusahaan mengelak-elak. Orang makin curigalah. Orang menanya, itu biasa, dijawab saja," katanya kepada Gatra.com.
Menurut Agustian, dari 10 perusahaan --- PT Rimbo Panjang SM, PT AMP Plantation, PT.Gresindo Minang Plantation, PT Kencana Sawit, PT Agrowiratama, PT Andalas Agro Industri, PT Mutiara Agam, PT Tidar Kerinci Agung, Pasaman Marama Sejahtera dan PT Selago Makmur --- yang ikut penetapan harga, hanya dua perusahaan yang memberlakukan BOTL.
Dan pada penetapan harga Kamis pekan lalu, menjadi angka BOTL tertinggi. "Setelah diprotes, akhirnya perusahaan mau ikut aturan Permentan. Tapi kalau pada penetapan harga selanjutnya ternyata aturan itu tidak dipatuhi, kami akan buat surat teguran," ujar Agus.
Di Sumbar kata Agus, penetapan harga dilakukan dua kali sebulan. Tapi Agus lupa berapa total produksi CPO dan TBS Sumbar yang disodorkan perusahaan dalam penetapan harga Kamis pekan lalu.
Baca juga: Mengulik Duit Misterius BOTL TBS
Terkait persoalan BOTL tadi, Apkasindo Sumbar sudah mewanti-wanti, jika BOTL tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka BOTL itu dinolkan.
"Nah, sesuai rapat kemarin, kalau dalam rapat berikutnya Wilmar tidak bisa memberikan rincian penggunaan duit BOTL, maka overhead plasma kita nolkan," tegas Wily.
Wajar Wily mengatakan begitu, sebab perwakilan KUD Bina Tani Sejahtera (BTS) Pasaman Barat, Indra, menyebut kalau KUD nya tidak pernah kecipratan duit BOTL. "Untuk biaya rapat penetapan harga saja dari kocek kami sendiri," katanya kepada Gatra.com.
Di Pasaman Barat kata Indra, ada tujuh KUD yang menjadi plasma Wilmar Group. "Kami mulai menjadi plasma tahun 1992. Luasnya 1000 hektar," terangnya.
Sayang, beberapa kali dihubungi, Humas PT.GMP, Revi Muhardi, tidak menyambungkan teleponnya. SMS yang dikirim pun tidak dibalas.
Persoalan BOTL ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumbar. Di Riau sendiri, malah sempat heboh. Sebab duit BOTL ini tergolong besar. Di Riau saja, dalam sepekan bisa mencapai Rp2,9 miliar.
Dalam Permentan 1/2018, poin-poin pengeluaran dalam BOTL antara lain; Cost Of Money (bunga dan biaya bank, asuransi keamanan pengiriman uang) yang nilainya hingga 1,33 persen.
Lalu, penyusutan timbangan CPO dalam transportasi 0,30 persen serta kegiatan penetapan harga TBS, pembinaan pekebun dan kelembagaan Pekebun 1 persen. Yang satu persen inilah yang kata Indra tadi, mereka enggak pernah kebagian.
Abdul Aziz