Home Kebencanaan Melihat Kondisi Anak-anak Pengungsi Merapi di Tengah Pandemi

Melihat Kondisi Anak-anak Pengungsi Merapi di Tengah Pandemi

Sleman, Gatra.com - Belasan anak-anak tampak ceria bermain puzzle bersama dua relawan di sebuah tenda barak pengungsian Kelurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
 
Wajah mereka tak menunjukkan raut sedih dalam menghadapi ancaman erupsi Gunung Merapi. Sayangnya, aktivitas anak-anak tersebut kurang memgindahkan protokol kesehatan. Saking asyiknya bermain, kebanyakan mereka tak memakai masker dan berdekatan satu sama lain. 
 
Saat ini terdapat 25 anak dan delapan balita di barak. Sebelum mengungsi, bocah-bocah Kalitengah Lor, Glagaharjo, memang tak terlalu ketat dalam menjerapkan protokol kesehatan. Apalagi selama ini Kalitengah Lor termasuk zona hijau di peta epidemiologi Covid-19 atau daerah tanpa kasus Covid-19. 
 
Masyarakat setempat juga jarang berinteraksi dengan warga luar wilayah karena secara geografis Kalitengah Lor berada di ujung utara Sleman. Dusun ini permukiman terdekat dengan Gunung Merapi. 
 
"Ternyata anak-anak selama ini di atas (Kalitengah Lor) tidak biasa memakai masker. Di sana zona hijau," kata seorang relawan khusus anak dari Sleman, Nyadi Kasmorejo, 61 tahun, Sabtu (14/11).
 
Menurut Nyadi, dengan kondisi ini, penularan Covid-19 sangat rentan terjadi. Apalagi saat ini banyak orang datang bergantian ke barak pengungsian, seperti relawan dan petugas dari sejumlah instansi. 
 
Untuk mengantisipasi hal itu, kata Nyadi, protokol kesehatan secara ketat diberlakukan bagi relawan yang bertugas di sana. Relawan harus rajin menyemprot disinfektan dan sering cuci tangan, bahkan mesti menjalani tes cepat Covid-19 sebelum bertugas. 
 
"(Anak-anak) Harus diproteksi. Jadi tidak sembarangan. Informasinya, prokes diperketat bagi orang yang datang baru diterapkan pada Senin (16/11) nanti," katanya. 
 
Para relawan juga dilarang menanyakan perasaan anak-anak tersebut saat mendampingi mereka. "Setiap relawan kami minta jangan bicara soal Merapi, soal bencana. Nah, kami alihkan dengan kegiatan positif, seperti latihan nari, bermain puzzle. Mereka kami dampingi saja," katanya. 
 
Menurut Nyadi, pertanyaan soal perasaan mereka di tengah situasi ancaman bencana Merapi dapat menimbulkan trauma. "Itu bagian dari trauma healing kepada anak-anak," katanya. 
 
Nyadi sempat kaget saat menjadi relawan bencana erupsi Merapi pada 2010 silam. Ia melihat banyak pihak turun tangan membantu pendampingan anak-anak. Sayangnya, mereka kurang memperhatikan sisi psikologi bocah-bocah itu. 
 
"Pengalaman 2010 lalu kami kaget. Hampiri semua orang inginnya membantu. Banyak yang nanya pertanyaan tentang kejadiannya. Itu kan anak-anak jadi trauma, karena setiap saat diminta cerita tentang kejadian itu," ucapnya. 
 
Karena itu, anak-anak pengungsi pun diajak untuk melakukan aneka kegiatan menyenangkan. Mereka diajak belajar membaca, bermain puzzle, hingga mewarnai. Sesekali mereka bermain sepak bola di lapangan. "Tujuannya kan bagaimana membuat anak-anak supaya tidak sedih," kata relawan anak lainnya, Rizan Medina. 
 
Rizan mengatakan anak-anak sudah sering kali diingatkan untuk memakai masker. "Tidak mau memakai karena pengap. Ya sudah, kami yang memproteksi diri dengan menyemprotkan disinfektan dan cuci tangan sebelum berinteraksi dengan mereka," katanya.  
 
Salah satu pengungsi, Wahyu, mengatakan anak-anak, termasuk buah hatinya tetap bisa belajar di pengungsian, meski suasananya cukup ramai dan banyak orang. "Anak-anak bisa tetap belajar. Ya semoga cepat aman (Merapi)," katanya. 
 
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman Joko Supriyanto mengatakan barak pengungsian akan lebih diproteksi. "Jadi di depan itu kan ada petugas. Orang yang datang nanti ditanya dulu, keperluannya apa, mau ketemu siapa. Jadi tidak sembarangan orang masuk," ucapnya.
536