GATRAreview.com - Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) memberi mandat kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai koordinator TFRIC-19 atau Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk penanganan Covid-19. Komposisi anggota TFRIC-19 cukup lengkap, terdiri dari para peneliti BPPT, sejumlah lembaga riset milik pemerintah, BUMN, perguruan tinggi, perusahaan farmasi, komunitas hingga start up company di bidang kesehatan. TFRIC-19 diamanatkan untuk menjalankan misi mengembangkan produk inovasi teknologi, terutama alat kesehatan untuk menangani pandemi Covid-19.
Untuk mengetahui apa saja pengembangan inovasi teknologi yang sedang digarap TFRIC-19, Tim GATRA Review, pada Selasa 28 Juli lalu melakukan wawancara dengan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza secara telekonferensi. Wawancara dilakukan usai Hammam memimpin rapat koordinasi TFRIC-19. Berikut kutipannya :
Apa kontribusi BPPT dalam pengembangan inovasi teknologi terkait penanganan Pandemi Covid-19?
Kita telah mendirikan TFRIC-19. Ini adalah ekosistem inovasi teknologi dalam rangka kita melaksanakan proses testing, tracing, detecting, isolating hingga treatment. Ini adalah cara kita untuk menangani, memutus rantai penyebaran Covid-19 atau sering kita dengar dengan istilah flattening the curve atau meratakan kurva pandemic Covid-19.
Makanya dalam ekosistem ini terlihat adanya penekanan-penekanan terhadap produk yang terkait dengan upaya kita melaksanakan testing, detecting, tracing kemudian melaksanakan pengujian, dalam arti fasilitas laboratorium sarana dan prasarananya, sampai pada alat kesehatannya, seperti ventilator dan lain-lain.
Kita melaksanakan proses dari membawa sebuah kerja penelitian, perekayasaan, hingga kepada tahapan komersialisasinya. Sehingga, sekarang ada produk yang dihasilkan dan sudah diluncurkan pada tanggal 20 Mei lalu oleh Presiden Joko Widodo. Nanti tanggal 10 Agustus juga akan diluncurkan beberapa produk baru, dari upaya kami melengkapi ekosistem inovasi teknologi untuk penanganan Covid-19 ini.
Apa misi dari tim task force yang anggotanya terdiri dari sejumlah elemen itu?
Di TFRIC-19 ada lima subtask force. Intinya, subtask force ini menghasilkan produk, misalnya produk Tes PCR (polymerase chain reaction), ini ada Biofarma (PT Biofarma) dan Nusantics yang membangun prototipe dari PCR test kitnya. Saat ini sudah siap 420.000 (test kit), 100.000 diantaranya sudah kita sebar kemasyarakat, sudah didistribusikan.
Kemudian ada produk rapid test atau kita kenal sebagai RI-GHA. Produk ini merupakan hasil kerjasama BPPT, Universitas Gadjah Mada dengan Universitas Airlangga dan kemudian dengan PT Hepatica Mataram, yang memproduksinya. Kita telah memproduksi 10.000 prototipe yang di uji validasi diberbagai tempat. Kemudian sekarang ini dalam tahapan produksi. Kami harapkan sudah bisa mencapai 500.000 dari beberapa industri yang memproduksi rapid tes ini.
Ada juga aplikasi artificial intelligence (AI). Di sini BPPT bekerja sama dengan para stakeholder yang ada, antara lain ITB (Institut Teknologi Bandung), Indonesia AI Society, dan ahli AI dari TNI AU (Angkatan Udara) yang menghasilkan Knowledge Growing System sebagai platform untuk menampilkan peta sebaran epidemologi terhadap pandemi ini. Bisa dilihat itu merupakan bagian dari pada detection system melalui citra medis yaitu CT Scan dan X-ray.
Berikutnya, ada penyusunan whole genome sequencing (WGS) dengan ITB. Terbaru, ini ada terobosan yang baru saya kasih bocorannya kepada GATRA Review, kita akan mensubmit kurang lebih 24 WGS pada tanggal 10 Agustus. Ini akan melengkapi WGS yang sudah di submit oleh Indonesia dari berbagai institusi, seperti Eijkman, Unair, dan Litbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan). Terobosan ini adalah kita menambah koleksi pada strain virus Indonesia atau WGS-nya sebanyak 24.
Kemudian ada sarana dan prasarana seperti mobile lab BSL2 yang sekarang sudah diluncurkan, satu unit di RS Ridwan Meuraksa Jakarta dan akan ada lagi BSL2 yang digunakan BRIN, LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), BNI. Juga akan ada sepuluh dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengharapkan BSL2 ini bisa disebar ke seluruh provinsi. Mobile lab ini bekerjasama dengan Biofarma dan seluruh stakeholder yang terkait. Termasuk PT Pindad yang juga akan ikut memproduksi BSL2 ini.
Semua ini tahapannya bukan hanya design engineering saja, tapi kita betul-betul menghasilkan produk akhir yang dibutuhkan untuk digunakan oleh para user, diantaranya ada Kemenkes, Orgnasisasi, Pemda, dan lainnya. Ini adalah murni karya anak bangsa. Demikian pula produk emergency ventilator yang telah berhasil kita hilirisasi dengan berbagai industri, misalnya PT LEN, PT Dharma dan PT Polyjaya.
Apa yang menjadi keunggulan produk karya anak bangsa ini dibandingkan produk impor yang sudah ada?
Kelebihannya terletak pada kesesuaian dengan keadaan atau virus yang menginfeksi orang-orang Indonesia. Secara umum memang produk kita diuji dengan bahan ujinya Covid-19 dalam negeri. Kalau alat dari luar, misalnya dari Wuhan (Cina) itu kan diuji dengan Covid-19 di Wuhan. Tentunya produk-produk ini diproduksi di dalam negeri oleh perusahaan-perusahaan Indonesia dan tentunya juga ada peningkatan kapasitas kemampuannya untuk memulai desain prototipe dan sampai menjadi produk industri.
Mengenai produk karya anak bangsa ini, apakah juga membawa semangat substitusi Impor dengan mengunakan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang tinggi?
Justru itu, makanya produk kita ini kita sebut Produk Merah Putih. Vaksin yang sedang kita teliti ini kita beri nama vaksin merah putih. Kami juga mengharapkan bahwa produk rapid test ini produk yang merah putih, Walaupun bahan bakunya seperti sebagian besar masih kita impor. Kita akan upayakan mempersiapkan bahan baku dari dalam negeri. Nah tanggal 10 Agustus sebagian bahan baku dari rapid test sudah merah putih. Hasil yang kita buat sebagai generasi kedua dari rapid test yang akan kita luncurkan.
Dari Biofarma dan Nusantics di dalam membangun PCR Test itu juga dengan TKDN yang murni karya dari anak bangsa. Reagen-nya sebagian besar masih impor, tapi kita juga menuju kepada reagen yang diproduksi sendiri. Tentu saja untuk mengakselerasi produk itu, tidak semua bisa kita bangun dari dari nol. Kami tetap menempatkan bahwa, detail desain purwarupanya itu adalah murni TKDN tinggi, karena diproduksi dengan pemikiran dari hasil penelitian dan pengembangan, hasil pengkajian dan penerapan dari karya anak bangsa.
Untuk ventilator misalnya. komponennya sebagian besar adalah dalam negeri, tidak lagi diimpor. Beda lagi dengan PCR, Tes kit-nya itu adalah produksi Biofarma tetapi alat uji PCRnya itu memang kita belum buat. Kalau diberi waktu kita akan buat juga itu. Sehingga secara keseluruhan boleh dong berbangga ya bahwa kami itu memang menjalankan substitusi impor terhadap kebutuhan kita dalam testing, tracing, dengan fasilitas uji (mobile lab) BSL 2 yang diproduksi detail engineering design, kemudian komponennya juga sebagian besar berasal dari dalam negeri.
Artinya bisa disebut produk inovasi yang dihasilkan TFRIC-19 sebagian besar TKDN-nya sudah tinggi?
Boleh dong kita berbangga bahwa TKDN dari produk-produk TFRIC-19 ini di atas 60%. Apalagi kalau detail engineering design itu mau di hargai berapa persen. Kalau mau betul-betul mau menempatkan detail engineering design ataupun purwarupa ataupun hasil penelitian itu dengan komposisi 50% maka bisa dikatakan TKDN dari produk yang dihasilkan itu dengan komposisi 50% dari total produk. Maka bisa dikatakan TKDN produk yang dihasilkan dari TFRIC-19 ini atas 60-70%. Bahkan dalam produk AI itu saya lebih yakin lagi, bisa kita sebutkan TKDN nya sudah 95%. AI itu dirancang machine learning, deep learning , data mining, knowledge-growing system. Ini adalah karya dari subtitusi impor.
Bottom line message yang ingin disampaikan, TFRIC-19 ini adalah berada di paling depan dalam upaya kita melakukan substitusi impor di dalam aspek testing, tracing, detecting, dan treating. Kita mengisi TKDN di situ. Utamanya adalah kepercayaan terhadap produk bangga buatan Indonesia, yang sesuai dengan tema HUT RI yang sekarang ini adalah Bangga Buatan Indonesia. Harapan kita ini semua bukan lagi hanya subtitusi impor, tapi kita mau mengekspor produknya. Itu semua potensi di ekspor bukan hanya untuk subtitusi impor.
Semoga saja ada kepercayaan dari stakeholder, khususnya Kementerian Kesehatan yang biasanya kita ketahui alat kesehatan itu sebelumnya 98% masih impor. Berilah ruangan kepada karya anak bangsa ini. Kita ini bisa berdiri diatas kaki kita sendiri, untuk alat kesehatan ini jadi tidak tergantung dengan produk impor.
Bagaimana dengan perkembangan riset vaksin dan obat anti Covid-19?
Jadi untuk menemukan vaksin dan obat itu, pertama kita perlu juga meneliti mengenai WGS-nya. Itulah kenapa di subtask force 4 ini berupaya menerobos. Sekarang ini ada 24 WGS yang akan kita kontribusikan sebagai sebuah karya anak bangsa. Kita melakukan sendiri pengembangan WGS untuk strain virus Indonesia. Ini upaya kita juga untuk menguasai obat-obatan dan vaksin karya kita sendiri dengan menggunakan seluruh lokal konten yang ada. Untuk WGS nanti akan kita submit 24, saat ini kita sudah mensubmit 15 yang dari Indonesia. Sebagai data kita dalam menemukan obat dan vaksin.
Apa dampaknya jika WGS Indonesia ini diserahkan ke para peneliti global?
Ya, WGS ini adalah riset yang mendasari (peneliti) untuk pencarian vaksin dan obat-obatan. Inikan ada obat untuk anti-viral, obat untuk anti-inflamasi, obat untuk antibiotik. Maunya kita obat-obat itu bisa diproduksi di dalam negeri, walaupun saat ini sebagian besar bahan baku obat di impor dari India. Jadi untuk pengembangan vaksin merah putih, WGS sangat-sangat membantu. Kita harapkan semua masyarakat Indonesia yang jumlahnya 220 juta mendapat kesempatan vaksinasi Covid-19 ini, yang mana satu orang harus dua kali di vaksin sehingga diperlukan sekitar 440 juta dosis vaksin.
Sejauh ini bagaimana respon masyarakat terhadap hasil produk inovasi TFRIC-19?
Kita ingin produk yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Kita tidak mau terlalu merasa bangga lebih dulu sampai kita yakin, misalnya kebutuhan rapid test dan PCR tes bisa dipenuhi 100% dari produk buatan dalam negeri. Alhamdulillah KemenkoPMK, KemenkoMarinves, Kemenkes sudah gunakan rapid test buatan dalam negeri. BSL2 sudah ada 12 pesanan, maunya ada 34 pesanan agar satu provinsi dapat satu. Begitu pula dengan ventilator. Namun untuk produk alat kesehatan sangat tergantung dengan user. Misalnya ventilator, mau tidak dokter anestesinya menggunakan ventilator buatan dalam negeri untuk mengobati pasienya. Apalagi di alat kesehatan ini ada mafianya. Bagaimana agar mafia ini tidak bermain di produk alkes.
Bagaimana dengan dukungan pendanaan dari pemerintah terkait inovasi ini agar kedepannya semua hasil produknya juga serba merah putih?
Kalau dari sisi pendanaan, kami di internal BPPT kita belokkan semua dananya untuk penanganan Covid-19. Kalau dari penggunaan dan pemesanan terhadap produk-produk ini, tentunya di Kemenkes diberikan anggaran Rp 75 triliun untuk menyediakan kebutuhan penanganan Covid-19. Harapan saya itu jangan dibelikan pada produk impor, tapi berikan pada produk dalam negeri. Seperti rapid test, PCR test, dan kebutuhan lainnya yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Itu kan paling idealnya demikian.