Jakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Etika Penyelenggara Negara kembali dibahas oleh MPR, Komisi Yudisial (KY), beserta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Satu di antara poin yang ditekankan dalam RUU itu adalah harus siap mundur dari jabatan jika terbukti bersalah.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Bamsoet, sapaannya, menyebut RUU itu punya misi untuk setiap pejabat dan elit politik.
"Jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat," ujar Bamsoet membeberkan nilai-nilai di RUU itu, Rabu (11/11).
Nilai-nilai itu dirumuskan sebelumnya dalam 'Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa' yang dibuka pada Rabu (11/11) di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta Pusat. Ini kedua kalinya RUU itu dibahas sejak terakhir lembaga-lembaga itu menggodoknya pada 2017 lalu.
Bamsoet sempat mengatakan, RUU itu memang pernah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019. Namun, karena periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pertama itu telah habis, maka RUU itu belum ditindaklanjuti lagi.
Bamsoet menjelaskan bahwa RUU Etika Penyelenggara Negara itu merupakan turunan dari TAP MPR VI/2001. RUU itu diharapkan bisa memperjelas peraturan soal etika penyelenggara negara dan peran lembaga etik.
"Sekarang ini semua lembaga termasuk DPR punya lembaga etik. Komisi Yudisial juga sebagai penegak lembaga etik, dan seterusnya. Kita sinergikan sehingga ada pengaturan lebih jelas bagaimana seharusnya [sikap] seorang penyelenggara negara," kata Bamsoet.
Senada dengan Bamsoet, Ketua KY, Jaja Ahmad Jayus, mengatakan, penggodokan RUU ini jadi momentum yang sangat penting agar setiap penyelenggara negara mau pun masyarakat memahami betul tentang etika berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, ia berharap masyarakat Indonesia jadi lebih baik.
"Baik dari sisi akhlak, kalau dalam bahasa agama, atau pun dalam perilaku sehari-harinya," kata Jaja di lokasi yang sama.
Khusus untuk etika penegak hukum, Jaja berharap semuanya harus patuh terhadap peraturan ini. Sebab, hal itu cerminan dari hakim yang beretika.
"Kalau seandainya hakim itu semua beretika maka penegakkan hukum yang berkeadilan itu akan terwujud sebagaimana TAP MPR VI/2001 itu," ujarnya.
Nantinya, hasil rapat dalam 'Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa' ini akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah dan DPR. RUU itu diharapkan segera dirampungkan, sebab hal itu disebut Bamsoet sebagai 'utang' dari TAP MPR VI/2001.