Pekanbaru, Gatra.com - Menguatnya Islam politik belakangan ini dapat menggerus pamor PDI Perjuangan di daerah, yang merupakan salah satu partai nasionalis terbesar di Indonesia.
Di Riau, tantangan itu kian nyata, ketika figur Ustad Abdul Somad (UAS) dapat mempengaruhi suara pemilih kalangan Islam. Sebaliknya PDI P merupakan partai nasionalis yang dalam beberapa kesempatan menunjukan antipati terhadap UAS, khususnya pada beberapa kesempatan di Pulau Jawa.
Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Provinsi Riau, Dr. Hasanudin, M.Si mengatakan seruan UAS memiliki efek politik yang tidak bisa diremehkan. Oleh sebab itu kedekatan UAS dengan partai politik tertentu, berpeluang mengerek suara ke arah partai tersebut. Masalahnya, selama ini UAS lebih sering menampakan diri dengan kegiatan partai berhaluan Islam ketimbang nasionalis.
"Kemunculan partai Islam kecendrunganya lebih banyak menggerogoti suara partai nasionalis ketimbang Islam. Peran itu misalnya bisa dilakukan oleh UAS," katanya, Rabu (11/11).
Hasanudin mengamati, selama ini seruan UAS justru berdampak terhadap pemilih Islam yang menjadi pemilih partai nasionalis. Itu sebabnya, Hasanudin menilai kehadiran Partai Masyumi dapat berimbas pada raihan suara partai politik nasionalis. Hanya saja sejauh mana imbas tersebut sangat bergantung pada kepiawaian Masyumi membangun momentum.
"Momen tahun 1955 itu kan sudah hilang untuk era sekarang. Tapi yang perlu diingat sekarang kondisi itu tidak statis, artinya itu akan dipengaruhi bagaimana Masyumi membangun wacana terhadap generasi sekarang," katanya.
Jika mengacu pada hasil pemilu 2019 PDI P sejatinya membukukan capaian positif di Riau, ini ditandai dengan meningkatnya raihan kursi PDI P di DPRD Riau dari 9 kursi menjadi 10 kursi.
Tapi, perolehan tersebut turut dipengaruhi oleh serangkaian penyesuaian yang dilakukan PDI P jelang begulirnya pemilu 2019 di Riau. Peristiwa paling mencolok terjadi pada tahun 2018 ketika DPP PDI P memutuskan mencopot Kordias Pasaribu dari kursi ketua DPD PDI P Riau. Status Kordias yang non Muslim ditenggarai sebagai penyesuaian dengan politik identitas yang menguat jelang begulirnya pemilu 2019.
Selain penyesuaian yang dilakukan secara organisasi, perangkulan masa Islam juga coba dilakukan oleh kader PDI P, atas nama Rusli Ahmad. Pada tahun 2017 Rusli resmi memimpin ketua pimpinan wilayah Nahdatul Ulama (NU). Kehadiran sosok Rusli di NU dapat membangun narasi PDI P dekat dengan kalangan Islam.
Hanya saja, jelang begulirnya pemilu tahun 2024, PDI P memikul sendiri beban sebagai partai nasional yang aktivitasnya disorot dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Regulasi tersebut mendapat sorotan lantaran ingin merubah Pancasila menjadi ekasila dan trisila. Selain itu RUU tersebut juga menepikan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pelarangan partai komunis.
Belakangan RUU HIP dirubah menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan mengakomodir TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme sebagai pijakan RUU BPIP.
Terlepas dari perubahan tersebut, isu komunisme kembali mengemuka dan membuat PDI P sebagai pengusung rancangan undang-undang itu dikaitkan dengan PKI. Narasi ini, jika terus mengemuka dan menguat dapat memicu momentum perlunya kehadiran Partai Masyumi.
Sebagaimana diketahui, Partai Masyumi merupakan kekuatan politik Islam pada masa Orde Lama, yang aktif melawan PKI.
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Islam Riau (UIR), Panca Setyo Prihatin, menilai PDI P sebagai aktor politik rasional tentu telah mengamati fenomena politik yang bakal mempengaruhi kerja-kerja politik untuk 2024.
"Di PDI P itu kan juga memiliki bagian struktur partai yang menggarap Islam. Mustahil PDI P sebagai partai yang ada di negara mayoritas Muslim mengacuhkan begitu saja isu-isu Islam politik. Tinggal bagaimana struktur partai tersebut diberi ruang dan didengar hasil kerjanya," ujarnya.