Jakarta, Gatra.com - MPR, Komisi Yudisial (KY), beserta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) kembali membahas RUU Etika Penyelenggara Negara. Ini kedua kalinya RUU itu dibahas sejak terakhir lembaga-lembaga itu menggodoknya pada 2017 lalu.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, menyatakan, RUU itu memang pernah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019. Namun, karena periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang pertama itu telah habis, maka RUU itu belum ditindaklanjuti lagi.
Bamsoet, sapaannya, menjelaskan bahwa RUU Etika Penyelenggara Negara itu merupakan turunan dari TAP MPR VI/2001. RUU itu diharapkan bisa memperjelas peraturan soal etika penyelenggara negara dan peran lembaga etik.
"Sekarang ini semua lembaga termasuk DPR punya lembaga etik. Komisi Yudisial juga sebagai penegak lembaga etik, dan seterusnya. Kita sinergikan sehingga ada pengaturan lebih jelas bagaimana seharusnya (sikap) seorang penyelenggara negara," kata Bamsoet di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/11).
Senada dengan Bamsoet, Ketua KY, Jaja Ahmad Jayus mengatakan, penggodokan RUU ini jadi momentum yang sangat penting agar setiap penyelenggara negara mau pun masyarakat memahami betul tentang etika berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, ia berharap masyarakat Indonesia jadi lebih baik.
"Baik dari sisi akhlak, kalau dalam bahasa agama, atau pun dalam perilaku sehari-harinya," kata Jaja di lokasi yang sama.
Khusus untuk etika penegak hukum, Jaja meminta semua hakim harus patuh terhadap peraturan ini. Sebab, hal itu cerminan dari hakim yang beretika.
"Kalau seandainya hakim itu semua beretika maka penegakkan hukum yang berkeadilan itu akan terwujud sebagaimana TAP MPR VI/2001 itu," pungkasnya.
Nantinya, hasil rapat dalam 'Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa' ini akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah dan DPR. RUU itu diharapkan segera dirampungkan, sebab hal itu disebut Bamsoet sebagai 'utang' dari TAP MPR VI/2001.