Semarang, Gatra.com - Pada tahun 1948-1950 terjadi agresi militer Belanda kedua di Solo. Saat itu berpusat di Lapangan Terbang Panasan yang sekarang jadi Adi Soemarmo Solo. Dulu, selama tiga tahun lokasi itu menjadi area perang, banyak warga yang jadi korban.
Salah satu korban adalah ayah dari Ngadimin Citro Wiyono. Waktu itu Ngadimin usianya baru 15 tahun dan harus melihat dengan mata kepalanya sendiri sang ayah tersungkur akibat tertembus peluru Tentar Belanda.
Melihat hal itu Ngadimin kecil merasa dendam dengan kekejaman Belanda yang telah menghabisi nyawa ayahnya dan warga lain. Ia pun berteka akan akan membalas kematian sang ayah dengan menjadi pejuang kemerdekaan untuk mengusir para pejajah.
Kesempatan itu akhirnya datang kepadanya. Awal perjuangan Ngadimin, adalah saat membantu para prajurit TNI yang ingin menyergap gudang senjata Belanda.
Ia yang melihat senjata prajurit ditinggal di kebun, sengaja menyembunyikannya dengan cara ditutup daun kering. Tujuannya agar tidak ketahuan oleh Belanda.
Aksi Ngadimin yang menyelamatkan sejata pejuang ini pun diketahui oleh Komandan yang akan melakukan penyergapan gudang senjata Belanda. Dan karena aksinya itu, akhirnya Ngadimin diminta untuk bergabung berjuang melawan pejanjah meski usianya masih cukup muda.
Ngadimin yang tidak memiliki keahlian menggunakan senapan, mendapatkan tugas yang cukup penting. Yakni menjadi telik sandi atau mata-mata.
Usia Ngadimin yang masih muda, tidak membuat Belanda curiga. Terlebih saat itu, Ngadimin juga berpura-pura menjadi orang gila, sehinga membuatnya bebas mengawasi setiap pergerakan tentara Belanda dan berhasil dilaporkan kepada Komandannya dengan baik.
Dari situ, Ngadimin pun menjadi salah satu pejuang untuk mengusir pejajah dari Kota Solo. Kisah itu diceritakan Ngadimin saat bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Senin (9/11) di Rumah Dinas Gubernur Puri Gedeh.
"Saat itu Komandan pasukan terkejut, kok bisa senjatanya diamankan. Setelah tahu saya yang melakukan, terus saya diminta gabung berjuang dan mendapat tugas baru. Saat itu, saya ditugasi menjadi pengintai Belanda," ucap Ngadimin kepada Ganjar.
Pria yang lebih akrab disapa Mbah Ngadimin ini sengaja mendatangi Gubernur Ganjar Pranowo dari Kota Solo untuk "ngudo roso" (berkeluh kesah) akan nasibnya, yang sampai saat ini tidak pernah diakui sebagai pejuang kemerdekaan dan tidak tercatat di Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Kedatangannya diantar diantar pegiat sosial Solo, Agus Widanarko.
Yah, Mbah Min dulunya adalah seorang pejuang. Di usianya yang sudah menginjak 88 tahun itu, dirinya masih lancar menceritakan bagaimana kisah heroiknya tempo dulu. Kini pejuang yang sudah memiliki 9 cucu ini hanya justru harus berjuang menghadapi kerasnya kehidupan.
Kepada Ganjar Mbah Min, bercerita, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, dirinya berdagang mainan anak-anak yang dibuatnya sendiri.
Mbah Min mengaku, tidak mengurus statusnya sebagai mantan pejuang bukan karena dirinya tidak mau, namun karena dirinya tidak memiliki bukti bahwa dirinya adalah salah satu pejuang kemerdekaan.
"Sekarang itu harus ada hitam diatas putih. Semua harus ada tanda bukti, sementara saya tidak punya. Dulu, saya itu hanya berani saja, tidak mikir besok begini," jelasnya pada Ganjar.
Mendengar cerita Mbah Min, Ganjar langsung menghubungi Dinas Sosial Provinsi Jateng, dan meminta untuk membantu Mbah Min memperoleh haknya sebagai seorang veteran perjuangan.
Tak selang berapa lama, petugas dari Dinas Sosial Pemprov Jateng langsung datang ke rumah dinas Ganjar. Tujuannya untuk bertemu Mbah Min dan membantu memperoleh haknya sebagai veteran. "Nanti biar diurus dan dibantu Mbah, saya doakan njenengan sehat terus," ujar Ganjar.