Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Dr. Suparji Achmad, mengatakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) harus tetap melakukan penegakan hukum meskipun tengah dalam masa pandemi Covid-19.
Namun demikian, Suparji dalam webinnar bertajuk "Urgensi Penegakan Hukum kasus Perbankan Vs Menjaga Stabilitas Perekonomian Nasional" pada Jumat (6/11), mengingatkan, penegakan hukum tersebut tidak boleh sembarangan, apalagi saat ekonomi tengah nyungsep akibat pagebluk virus corona jenis baru, SARS CoV-2 atau Covid-19.
Menurutnya, penegakan hukum selain harus lebih super hati-hati dan cermat, juga perlu mengedepankan aspek ekonomi. Pasalnya, selain merupakan upaya menegakkan keadilan, penegakan hukum di sektor ekonomi harus mempertimbangkan aspek kemanfaatan agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Lebih spesifik, Suparji menyampaikan soal penegakan hukum di sektor perbankan yang menuntut lebih hati-hati dan cermat karena perbankan terkait dengan kepercayaan. Penegakan hukum jangan sampai menghambat perekonomian. "Ada pegawai bank saja yang ditangkap, itu sudah pasti rusak citra bank itu," ujarnya.
Suparji mencontohkan kasus dugaan gratifikasi ?di salah satu bank pelat merah yang menyeret mantan direktur utama (dirut)-nya oleh penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung. Menurutnya, penetapan yang bersangkutan sebagai tersangka setelah tidak menjabat atau pensiun merupakan langkah tepat.
"Kita tidak tahu apakah memang tindakan [menetapkan tersangka] itu karena pertimbangan apa, tapi ini menunjukkan bahwa Kejaksaan melakukan penegakan hukum dengan mempertimbangkan agar tidak ada kegaduhan yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merosot," ujarnya.
Meski demikian, ia mengharapkan agar proses hukum bisa diselesaikan melalui restorative justice demi kepentingan yang lebih luas. "Seharusnya upaya-upaya penyelesaian di luar pengadilan harus dikedepankan," katanya.
Semenada dengan Suparji, Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Dr. Ibnu Mazjah, yang juga dihadirkan sebagai pembicara dalam diskusi virtual gelaran Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka) ini, menyampaikan, penegakan hukum dan ekonomi harus berjalan selaras, terutama di masa Covid-19.
Ia mengungkapkan, dari data Lapdumas Kejaksaan yang diterima Komjak RI, dugaan pelanggaran dalam penanganan kasus perbankan jumlahnya tidak signifikan. Ini diharapkan benar-benar menujukkan bahwa penegakan hukum di sektor perbankan sudah memperhatikan aspek ekonomi.
Ibnu mengharapkan agar Kejaksaan mengedepankan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi atau lainnya di sektor perbankan. Menurutnya, upaya ini lebih bisa meningkatkan kepercayaan di sektor perbankan yang menjadi salah satu pendukung perekonomian Indonesia.
"Pemidanaan itu adalah upaya terakhir. Yang harus ditekankan dalam pemberantasan korupsi adalah penyelamatan aset," ujarnya.
Soal penegakan hukum melalui pemidanaan terhadap oknum dari perbankan yang tengah dilakukan Kejaksaan, menurut Ibnu, ini merupakan wewenang institusi. Namun persyaratannya harus terbukti unsur mens rea atau niat jahat terlebih dahulu, bukan hanya berdasarkan pada perbuatan formil.
"Tapi kalau memang tidak ada mens rea, sebaiknya seluruh persoalan-persoalan hukum itu diselesaikan secara win-win solution," kata Ibnu.
Menurutnya, jika ada perusahaan jasa keuangan kolaps gegara pandemi, misalnya, sebaiknya Kejaksaan melakukan pendekatan yang lebih persuasif dengan melibatkan institusi pemerintah terkait guna merevitalisasi perusahaan tersebut, bukan langsung melakukan eksekusi aset.
"Dengan begitu, perusahaan jasa keuangan yang collaps itu bisa hidup kembali dan bisa mendukung perekonomian," ujarnya.
Kalau langkah seperti itu dilakukan oleh Kejaksaan, Ibnu yakin tidak akan menimbulkan kesan angker terhadap Korps Adhyaksa. "Karena tidak mengedepankan aspek pemidanaan," ujarnya.