Jakarta, Gatra.com - AC Nielsen bersama UNICEF melakukan survei untuk menggali sikap masyarakat terhadap praktik pencegahan Covid-19 pada kehidupan sehari-hari. Survey yang belum lama dirilis tersebut digali dari 2000 responden yang tersebar di enam kota besar di Indonesia.
Dalam survei tersebut, 69,6% responden mengaitkan Covid-19 dengan aspek negatif seperti, berbahaya, menular, darurat, mematikan, menakutkan, khawatir, wabah, pandemi, dan penyakit.
Meski mayoritas responden mengasosiasikan Covid-19 dengan aspek negatif, namun hal-hal ini itu bisa mengarahkan kepada perilaku seseorang untuk bertindak positif dalam mencegah penularannya.
Rizky Ika Syafitri, UNICEF Communications Development Specialist, saat acara Dialog Produktif bertema Keterlibatan Masyarakat dalam Respon Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan KPCPEN, pada Rabu (04/11), menerangkan, ketakutan apabila dimanfaatkan dengan benar, kemudian bisa diarahkan ke arah perilaku yang lebih baik.
“Karena kalau tidak diolah dengan baik ketakutan ini hanya akan jadi ketakutan saja, tidak menjadi aset untuk mengolah perubahan perilaku,” ujarnya.
Kemudian, perilaku masyarakat terkait 3M secara rill di lapangan menunjukkan bahwa 31,5% dari seluruh responden melakukan seluruh perilaku 3M secara disiplin. Sementara, 36% dari total jumlah responden melakukan dua dari perilaku 3M. Sementara 23,2% melakukan 1 dari perilaku 3M. Hanya 9,3% dari responden yang tidak melakukan kepatuhan terhadap 3M sama sekali.
“Apabila kita analisa secara individual, menjaga perilaku jaga jarak (47%) lebih rendah daripada memakai masker (71%) dan mencuci tangan (72%). Khusus untuk jaga jarak, didapatkan ternyata ada aspek norma sosial yang berperan di sini misalnya, merasa tidak enak menjauh dari orang lain, orang lain yang mendekat ke saya, atau berpikir bahwa semua orang juga tidak menjaga jarak,” terang Risang Rimbatmaja, Konsultan UNICEF.
Selanjutnya, konsep kesalahan persepsi bahwa orang yang kelihatan sehat, dianggap tidak bisa menularkan penyakit juga menjadi faktor rendahnya penerapan perilaku menjaga jarak di kalangan masyarakat.
“Yang tidak kalah menonjol adalah salah persepsi, saya sehat atau orang lain sehat kenapa harus jaga jarak. Kelihatannya konsep Orang Tanpa Gejala (OTG) masih belum betul-betul berada di benak masyarakat,” jelas Risang Rimbatmaja.
Perlu bagi masyarakat luas mengetahui konsep OTG, karena masyarakat menjadi merasa tidak perlu menjaga jarak. Apabila masyarakat mengetahui lebih jauh lagi soal cara penularan COVID-19, diyakini bahwa masyarakat akan melakukan pencegahan lebih disiplin lagi.
“Tentunya semakin baik pengetahuannya semakin berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan COVID-19 yang lebih baik dan disiplin,” ujar Rizky Ika Syafitri.
Kebanyakan responden berpikir bahwa penularan Covid-19 melalui orang yang batuk dan bersin (71%).
Hanya 23-25% responden yang menyebutkan penularan Covid-19 melalui berbicara dan bernafas. Ini menjelaskan, mengapa jaga jarak dianggap tidak terlalu perlu saat berbicara dengan orang lain selama lawan bicara tidak batuk atau bersin.
Untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya perubahan perilaku ini, penting juga untuk mengetahui media penyalurannya yang tepat. Sumber informasi yang paling dipercayai masyarakat mengenai Covid-19 ini adalah media massa televisi, kemudian diikuti oleh koran, radio, media sosial, WhatsApp Group, pemberitaan media online, dan situs internet.
“Jadi kalau untuk perubahan perilaku, kita cari tahu yang terpercaya. Karena kalau terpercaya asumsinya masyarakat akan mau melakukan perubahan yang dipromosikan,” ujarnya.
Medium televisi kata Rizky masih menjadi salah satu penyaluran terkuat untuk dimanfaatkan. “Yang menarik juga di sini tokoh masyarakat dan tokoh agama masih didengarkan oleh masyarakat,” ujarnya.