Jakarta, Gatra.com - Kuasa hukum terdakwa Paryoto, Wardaniman Larosa, mengaku kecewa karena majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) yang diketuai Syafrudin A Rafiek, menolak mendengarkan keterangan saksi ahli yang diajukan pihaknya di persidangan.
"Kami tim kuasa hukum Paryoto sangat menyayangkan tindakan penolakan tersebut," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11).
Wardaniman menyampaikan, pihaknya menghadirkan saksi ahli Iing R. Sodikin dari Tenaga Ahli Kementerian ATR, agar perkara hukum pemalsuan akta tanah yang didakwakan kepada kliennya ini menjadi terang benderang.
"Beliau ditugaskan Pak Menteri langsung untuk membuat terang suatu peristiwa hukum yang melibatkan Pak Paryoto selaku mantan pegawai kantor pertanahan Jakarta Timur," ujarnya.
Selain menyayangkan hal tersebut, Wardaniman juga mempertanyakan soal pihak Kepolisian dan Kejaksaan tidak membeberkan hasil investigasi sengketa tanah yang mengantarkan kaliennya menjadi pesakitan. Menurutnya, ini merupakan bukti utama dalam perkara kliennya.
Wardaniman angkat bicara menanggapi pemberitaan sebelumnya, kalau hasil investigasi dibeberkan, kliennya tidak seharusnya menjadi pesakitan dalam kasus ini.
Pasalnya, lanjut dia, Paryoto hanya seorang juru ukur dari kantor BPN Jaktim yang melaksanakan tugas dari atasannya, yakni melakukan pengukuran tanah di kawasan Cakung Barat. "Saya yakin bahwa klien kami merupakan korban dari atasannya."
Setelah melakukan tugas tersebut, kata Wardaniman, kliennya malah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan akta tanah seluas 5,2 hektare yang disengketakan Abdul Halim dan Benny Simon Tabalajun.
Menurut dia, harusnya atasan kliennya yang terlebih dahulu dimintai pertanggungjawaban hukum. "Nyatanya kepala kantor sama sekali tidak diseret ke pengadilan," ujarnya.
Wardaniman juga berpendapat bahwa perkara yang dituduhkan kepada kliennya harusnya bukan ranah perkara hukum pidana, karena merupakan hukum administrasi karena berkaitan dengan pengukuran tanah.
"Kasus ini berkaitan pengukuran tanah dan bukan persoalan hukum tindak pidana pemalsuan surat, karena tidak ada satu surat pun yang dipalsukan oleh pak Paryoto," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa perkara sengketa tanah ini sempat bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, dan Mahkamah Agung. Putusannya, SHGB milik keluarga Tabalujan adalah sah, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum.