Yogyakarta, Gatra.com - Memanasnya Prancis karena aksi teror dan pernyataan Presiden Macron soal Islam dilatari kondisi warga setempat dan imigran muslim yang enggan saling memahami. Pernyataan para politisi di luar Prancis memperkeruh situasi itu.
Hal itu disampaikan dosen Fakultas Ilmu Budaya dan Pusat Studi Lintas Agama dan Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM), Achmad Munjid. Ia berbicara di diskusi daring ‘Kontroversi Kartun Nabi Muhammad, Islamophobia, dan Reaksi Umat Islam’, Selasa (3/11).
Munjid menjelaskan, Prancis mengalami rentetan aksi teror belakangan ini diawali saat terbunuhnya warga Prancis, Samuel Paty, karena menampilkan karikatur Nabi Muhammad.
Dua pekan kemudian, tiga orang tewas di gereja di Nice dan pada hari yang sama seorang pendukung supremasi kulit putih menodong ke para warga keturunan Afrika Utara. Terbaru, kata Munjid, terjadi penembakan di Wina, Austria, oleh simpatisan negara Islam, ISIS’. “Peristiwa-peristiwa ini berkaitan,” kata dia.
Hal itu ditambah pernyataan Presiden Macron yang mengecam separatisme Islam dan membela hak kebebesan berpendapat. Majalah Charlie Hebdo juga menerbitkan ulang kartun Nabi Muhammad karena kasus pembunuhan staf mereka atas kartun itu pada 2015 tengah disidang.
Rentetan kejadian ini menggambarkan kedua pihak tidak saling memahami. “Orang Prancis seakan bertanya kenapa orang Islam brutal, sebaliknya orang Islam seolah bertanya kenapa orang Eropa tidak menghargai Islam,” kata Munjid.
Menurut Munjid, atas maraknya aksi teror itu, warga Prancis dan Eropa melihat Islam tak cocok dengan dunia modern. Adapun jumlah imigran muslim makin besar, sehingga mereka harus diasimilasi. “Kalau tidak, akan jadi masalah serius,” katanya.
Sementara pemeluk Islam di Prancis tidak dapat memahami budaya sekuler dan kebebasan berpendapat di sana, termasuk dalam ekspresi yang dinilai menista agama. Imigran muslim di Prancis kebanyakan kalangan menengah ke bawah dan gagal beradaptasi sehingga menjadikan Islam sebagai identitas politik.
“Kedua belah pihak saling mengeluhkan tapi tidak ada upaya serius memmahami pihak yang lainnya. Ada problem mutual understanding pemahaman bersama. Padahal mereka hidup bersama. Masing-masing cuma menuntut untuk dipahami,” tuturnya.
Menurut Munjid, masalah ini makin rumit saat sejumlah orang dan politisi yang berjarak dengan kondisi Prancis, seperti di Indonesia, Turki, dan negara-negara Islam ikut nimbrung berkomentar. “Orang-orang berjarak dari peristiwa turut ambil bagian untuk memperkeruh suasana,” kata dia.
Para politisi itu memiliki agenda politik di negara masing-masing, seperti Mahathir Mohamad di Malaysia dan Erdogan di Turki. “Mahathir bicara ke sesama warga Malaysia untuk dukungan politik. Erdogan juga, bukan untuk membela Islam di Prancis tapi galang dukungan di negerinya,” kata Munjid.
Namun ucapan Presiden Macron juga tak lepas dari konteks politik karena pada 2022 digelar pemilihan presiden Prancis. “Pernyataan Macron sebenarnya langkah kampanye pilpres. Dia sedang bicara pada kelompok kanan untuk meraih dukungan politik,” ujarnya.