Pekanbaru, Gatra.com - Sebenarnya, lelaki 52 tahun ini sudah capek bercerita tentang kebun kelapa sawit mereka yang di Desa Pangkalan baru Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, itu.
Sebab kalau cerita lagi, kedongkolan saja yang bakal meluap. "Gimana enggak dongkol, hancur-hancuran kami dibikin PTPN V ini," cerita DR. Antony Hamzah, kepada Gatra.com, kemarin.
Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (KOPSA-M) ini mengurai kembali perjanjian yang dibikin koperasi dengan perusahaan plat merah itu.
"Dalam perjanjian, kebun yang dibangun untuk kami 2000 hektar. Itulah makanya kami menjalin kerjasama dengan Bank Agro. Dalam perjanjian itu, ada tiga tahap kebun yang dibangun. Tahap I 400 hektar, tahap II 1.150 hektar dan tahap III 500 hektar," ayah dua anak ini merinci.
Dalam perjalanannya kata dosen pertanian Universitas Riau ini, kebun tahap I 'lenyap'. Itu terjadi setelah hutang di Bank Agro dipindah ke Bank Mandiri.
"PTPN V bilang kebun kami hanya yang tahap II dan III. Sementara duit yang kami pinjam dari Bank Mandiri Rp83 miliar, dipakai untuk membayar biaya pembangunan kebun yang tiga tahap itu. Totalnya Rp79,3 miliar. Kalau misalnya kebun kami hanya yang tahap II dan III, kenapa kami harus bayar tahap I, II dan III," katanya.
Belakangan kata Antony, pihaknya dapat bukti kalau oknum bekas petinggi PTPN V telah menjual kebun itu ke pihak ketiga, perusahaan juga.
"Kami dapat kopian akta jual belinya. Sampai sekarang kebun itu dikuasai oleh pihak ketiga itu. Tapi sebahagian sertifikatnya masih ada sama kami," ujar Antony.
Sampai sekarang kata Antony, banyak anggota koperasi bertanya-tanya kenapa kebun tahap I itu disebut bukan kebun koperasi. "Banyak anggota tahu lantaran tempat kami syukuran, ya di kebun itu," katanya.
Kebun tahap I leong, yang tahap II dan III kata Antony, hancur-hancuran. Sebab sampai pertengahan 2017, dari 1.550 hektar yang ada, hanya 300 hektar yang bisa dibilang kebun kelapa sawit. Sisanya berangsur menjadi belukar.
"Padahal sampai pertengahan 2017, PTPN V yang full mengerjakan kebun itu. Tapi kondisinya begitulah. Tidak dirawat sama sekali. Sementara sisa duit bayar hutang ke Bank Agro sekitar Rp3 miliar lebih lagi, ditahan dengan alasan untuk perawatan kebun. Kebun yang mana yang dirawat?" Antony bertanya.
Nah, akhir 2017, muncul kesepahaman baru, "Kami --- PTPN V dan KOPSA-M --- sepakat untuk sama-sama mengerjakan kebun itu. Tapi hanya koperasi yang berusaha membersihkan kebun yang sudah belukar tadi. Alhamdulillah, sekarang, adalah sekitar 760 hektar yang bisa berproduksi," terangnya.
Yang membikin Antony heran, kenapalah Bank Mandiri bisa mencairkan duit Rp83 miliar, sementara kebun tahap II dan III yang diagunkan kondisinya seperti tadi; hanya 300 hektar yang bisa dibilang kebun sawit.
"Sudah gitu, surat kebun yang jadi agunan juga hanya 662 persil. Aneh kan?" katanya.
Kepada Gatra.com, Kepala Komunikasi Perusahaan dan PKBL PTPN V, Risky Atriyansyah memastikan bahwa KOPSA-M tidak memiliki kebun tahap I. Namun dia tidak merespon soal kenapa di Bank Agro kebun KOPSA-M justru tiga tahap.
Riski justru menyebut kalau KOPSA-M telah meng-KSO-kan kebun ke pihak ketiga dan tidak mau single managemen dengan PTPN V.
"Persoalan antara PTPN V dan KOPSA-M ini sedang berproses hukum di tingkat kasasi Mahkamah Agung," katanya.
Terkait proses hukum yang disebut Riski tadi, Antony menyebut kalau pihanya hanya menggugat perdata PTPN V soal wanprestasi di Kejaksaan Negeri Bangkinang, Kampar.
"PTPN V ingkar membangun kebun 2000 hektar. Tapi gugatan kami itu justru NO (Niet Ontvankelijke Verklaard). Soal kebun yang dijual oleh oknum mantan pentinggi PTPN V, kami sedang susun laporannya. Sebab ini terkait pidana," katanya.
Lantas soal KSO tadi kata Antony, itu terjadi sebelum dia menjadi ketua KOPSA-M. "Saya yang justru marah kebun itu di-KSO-kan. PTPN V yang bertanggungjawab atas kebun, malah membiarkan. Memang, KSO itu bukan di lahan yang 300 hektar, tapi di lahan yang sudah jadi belukar. Pihak ketiga tadi hanya memanen buah sawit," ujarnya.
Terlepas dari semua cerita di atas, sampai sekarang KOPSA-M sama sekali tidak punya kesanggupan membayar cicilan ke Bank Mandiri yang nilainya sekitar Rp1,2 miliar perbulan.
Lantaran tidak sanggup bayar, Bank Mandiri meng-auto debet langsung dari rekening PTPN V. "Itu sebagai tanggungjawab kami sebagai avalis," Riski beralasan.
Hanya saja, bagi pengamat ekonomi Universitas Riau, Prof Isyandi, perlakuan PTPN V atas auto debet tadi justru menjadi pertanyaan. "Jangan-jangan kebun koperasi sudah diakuisisi," katanya kepada Gatra.com kemarin.
Soalnya kata mantan Direktur Pasca Sarjana ini, enggak mungkin PTPN V mau membayar hutang segitu banyak jika mata anggarannya tidak ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA).
"Ini baru kemungkinan, sebab saya belum lihat data pastinya. Tapi kalau memang diakuisisi, tentu harus jelas dulu berapa nilai akuisisinya," katanya.
Yang pasti kata Isyandi, jika dalam waktu tertentu koperasi tak juga bisa membayar hutang, mau tak mau nanti kebun itu akan disita oleh yang membayari hutang itu. "Apalagi surat-surat lahan kan PTPN V yang mengagunkan," ujarnya.
Antony sendiri tidak kaget mendengar omongan Isyandi tadi. Sebab omongan semacam itu kata Antony sudah pernah keluar dari mulut oknum karyawan PTPN V.
"Enggak segampang itu mereka menyita. Sebab bakal panjang ceritanya. Disbun Kampar sudah mengaudit kebun itu. Hasilnya, tanaman musti direplanting. Nah, kalau saja PTPN V becus membangun kebun, enggak akan seperti ini jadinya. Kami enggak bisa bayar hutang, itu gara-gara siapa coba? PTPN V harus pertanggungjawabkan dulu pembangunan kebun itu," katanya.
Terkait dugaan akuisisi dan soal 'lenyap'nya kebun tahap I tadi, Gatra.com kembali mempertanyakan itu kepada Executive Vice President (EVP) Plasma/KKPA PTPN V, Arief Subhan Siregar, kemarin.
Lagi-lagi pertanyaan itu didelegasikan kembali ke Kepala Komunikasi Perusahaan dan PKBL PTPN V, Risky Atriyansyah.
"Permasalahan yang dimaksud antara PTPN V dan KOPSA-M, sekarang sudah menempuh jalur litigasi secara perdata di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Harapannya permasalahan ini dapat segera terselesaikan dan menjadi win-win solution bagi kedua belah pihak," katanya kepada Gatra.com.
Abdul Aziz