Pekanbaru, Gatra.com- Dalam pemberantasan narkoba pada bulan Oktober 2020 di Provinsi Riau, jajaran Polda Riau mencokok seorang oknum perwira polisi dan polisi khusus lapas (polsuspas). Keterlibatan dua petugas di instansi penegak hukum tersebut, sontak memantik perhatian publik.
Kriminolog dari Universitas Islam Riau, Kasmanto Rinaldi, menilai terjeratnya aparat hukum dalam bisnis narkoba, lantaran kejahatan tersebut sangat menggoda dari segi keuntungan. "Nah, narcotic crime ini sangat berbeda dengan kejahatan konvensional seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan dan sebagainya. Sebab dalam kejahatan ini ada unsur keuntungan dan cost yang tinggi," ungkapnya kepada Gatra.com melalui keterangan tertulis, Senin (2/11).
Aspek keuntungan inilah yang mendorong oknum penegak hukum memilih menceburkan diri dalam bisnis haram tersebut. "Dengan memasukkan barang haram dalam jumlah yang kecil saja ada keuntungan besar yang akan menanti. Apalagi dalam jumlah besar sudah barang tentu bisa dibayangkan keuntungan yang akan diperoleh," imbuhnya.
Saat operasi penangkapan terhadap oknum perwira (IZ) pada 24 Oktober di kota Pekanbaru, Polda Riau berhasil mengamankan 16 kilogram paket sabu. Umumnya narkoba yang beredar di Riau berasal dari Negeri Jiran, Malaysia. Dengan asumsi harga satu gram sabu Rp800 ribu, maka uang yang diperoleh dari barang haram tersebut sangat lah besar.
Sedangkan dalam operasi penggerebekan seorang oknum polisi khusus lapas narkotika berinisial W di Pekanbaru, di penghujung Oktober 2020 , polisi mengamankan 2 kilogram sabu dan 1.970 butir pil happy five.
Kasmanto menambahkan, dari sudut pandang kriminologi, siapa pun bisa berpotensi sebagai pelaku kejahatan. Kejahatan akan menghampiri individu bukan saja karena status sosialnya, tapi bagaimana proses kejahatan itu datang kepada seseorang.
"Dalam sudut pandang yang sederahana, seorang penjahat tidak lahir melalui proses genetika atau keturunan namun akan tercipta melalui proses dan tahapan pembelajaran. Nah, seorang aparat penegak hukum sebagai pelaku kejahatan bisa saja proses pembelajaran tersebut dia alami," tambahnya.
Adapun para bandar narkoba tedorong merekrut kepolisian, lantaran tugas pokok dan fungsi polisi memerangi peredaran narkoba. Siasat itu diperlukan agar para bandar dapat menjalankan bisnisnya dengan seminimal mungkin gangguan.
"Kalau kasus polsuspas memang kekuasaannya tidak setinggi pihak kepolisian, namun interaksi dia dengan tahanan dan warga binaan yang sebagian besar adalah kasus narkotika memudahkan proses itu tercipta. Karna bukan rahasia umum lagi, bahwa hampir 75 persen isi Lapas atau Rutan se Indonesia adalah mereka yang terlibat kasus narkotika," gumannya.
Kasmanto pun mengapresiasi keseriusan Ditnarkoba Polda Riau mengungkap peredaran narkoba meskipun ternyata ada oknum anggota Kepolisian dan Polsuspas yang terlibat.