Pekanbaru, Gatra.com - Wajah Rudi Walker nampak sumringah setelah menengok plang nama Kelompok Tani Pulai Kelayang Jaya (PKJ) di Desa Simpang Kota Medan Kecamatan Kelayang Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau itu selesai dipasang, Minggu (1/11).
Di sampingnya, Irwanto, yang sehari-hari sebagai bendahara di Poktan PKJ itu juga nampak senang, termasuk sejumlah anggota yang ikut memasang plang itu.
"Alhamdulillah, ini bagian dari kelengkapan yang kami persiapkan untuk mendapatkan hak kami yang selama ini tak jelas. Kebun kelapa sawit kami ada yang sudah akan replanting, tapi masih diklaim kawasan hutan. Sudahlah begitu, perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga mengklaim kalau kebun kami masuk dalam konsesinya," cerita Rudi kepada Gatra.com. Dia ketua di Poktan PKJ itu.
Sebelumnya, Poktan Lubuk Tani Makmur Jaya di Desa Kulim Jaya Kecamatan Lubuk Batu Jaya, juga sudah memasang plang yang sama. Sama-sama sudah berbadan hukum dan mitra binaan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).
Persoalan yang dihadapi oleh Poktan yang dikomandani oleh Turiman ini sama dengan Poktan PKJ tadi.
Di Desa Talang Tujuh Buah Tangga Kecamatan Rakit Kulim, kabupaten yang sama, Poktan Talang Permai juga sudah memasang plang poktannya. Hanya saja, plang itu keburu dicopot oknum karyawan perusahaan. Kebetulan, selain bermasalah dengan klaim kawasan hutan, poktan ini juga bersoal dengan perusahaan HTI.
Tiga poktan tadi hanya segelintir dari kumpulan petani kelapa sawit yang bermasalah dengan klaim kawasan hutan maupun perusahaan HTI.
"Sudah tak terhitung lagi berapa biaya yang sudah kami keluarkan untuk mengurusi persoalan kami ini. Rata-rata kami membeli lahan kebun kami dari pihak pertama. Suratnya juga lengkap. Tapi surat itu seolah-olah tak ada guna. Kebun kami tetap saja diklaim oleh perusahaan sebagai konsesinya," cerita Turiman.
Rudi mengamini omongan Turiman itu. Dia menyebut, untuk mengklaim dan mengambil paksa kebun petani, perusahaan konsesi memanfaatkan masyarakat tempatan, preman dan bahkan oknum bersenjata.
"Sebahagian kebun rekan kami sudah ditanami paksa dengan akasia. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lantaran oknum karyawan perusahaan, dikawal oknum," katanya.
Di Talang Tujuh Buah Tangga kata Santoni Samosir, malah lebih parah lagi. "Banyak kebun sawit anggota kami yang diracun dan bahkan dibakar. Habis itu, ditanami akasia. Kami sudah sering menanyakan Berita Acara Tata Batas (BATB) konsesi perusahaan itu, tapi enggak pernah diberikan. Yang ada malah kami dijak berkonflik. Untuk ini, kami akan selalu kalah lantaran selain dikawal security, oknum karyawan juga dikawal oknum bersenjata," kata Ketua Poktan Talang Permai ini.
Belakangan, petani kata Turiman semangat lagi setelah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCIKA) disahkan. "UU ini menjadi satu-satunya harapan kami untuk mengakhiri penderitaan kami. Sebab kami berkebun di sini, bukan membabat hutan, tapi membeli dari orang. Luasan kebun masing-masing kami juga hanya untuk menyambung hidup, bukan untuk cari kaya," katanya.
Awal bulan lalu, UUCIKA itu memang sudah disahkan. Anggota Dewan Pakar Bidang Hukum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Samuel Hutasoit, S.H.,M.H.,C.L.A. pun langsung membikin telaah soal UU itu, khususnya cluster pertanian.
"Yang berkaitan dengan petani sawit di UU itu ada di pasal 17A dan 110B. Secara substansi, Negara enggak lagi memberlakukan sanksi pidana bagi petani kelapa sawit yang minimal lima tahun secara terus menerus berkebun di dalam kawasan hutan, sebelum UU itu disahkan. Yang ada hanya sanksi administrasi," cerita lelaki 31 tahun ini kepada Gatra.com.
Sanksi administratif tadi kata magister ilmu hukum jebolan Universitas Indonesia ini, malah tidak berlaku kepada petani kelapa sawit yang sudah mendapat sanksi sosial atau sanksi adat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar juga bilang begitu dalam materi konfrensi persnya dua hari setelah UUCIKA itu disahkan.
Di lembar terakhir dari 8 lembar materi itu dia sebutkan bahwa perorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan minimal 5 tahun berturut-turut, dikenakan sanksi administrasi, bukan pidana.
Perempuan 64 tahun ini malah menyodorkan data bahwa lebih dari 20 ribu desa ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Sekitar 6.700 desa malah berada di kawasan hutan konservasi. "Masyarakat semacam ini enggak boleh dipidanakan atau dikriminalisasi," katanya.
Memang kata Samuel, di Pasal 92 tetap ada sanksi pidana. "Tapi itu baru bisa diberlakukan kalau orang membikin kebun di kawasan hutan, setelah UU tadi berlaku. Kaitannya ke pasal 110B tadi," ujarnya.
Sebelumnya, Abdul Wahid, anggota Badan Legislasi DPR RI yang ikut membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja itu sudah cerita kalau UUCIKA itu sudah mengakomodir kepentingan petani kelapa sawit.
Kebun kelapa sawit milik perorangan yang berada dalam klaim kawasan hutan, baik itu Hutan Produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) akan dilepaskan dari klaim kawasan hutan. Tidak ada gunanya mengklaim yang secara eksisting sudah bukan hutan lagi.
"Kalau kebun itu luasnya hanya 5 hektar, petani cukup melaporkan kebunnya kepada pemerintah, biar segera diukur. Laporan itu harus dilengkapi dengan peta," rinci Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Riau ini kepada Gatra.com.
Lantas jika kebun kelapa sawit itu berada di klaim kawasan hutan lindung dan konservasi, pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur.
"Setelah satu daur, lahan itu harus dikembalikan ke Negara," ujar lelaki asal Indragiri Hilir (Inhil) ini.
Nah, solusi bagi kebun perorangan yang tumpang tindih dengan konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU) kata lelaki 40 tahun adalah luas HGU atau Konsesinya yang dikurangi, bukan petani kelapa sawitnya yang diusir.
Bagi Sekretaris bidang Pendidikan dan pesantren DPP PKB ini, keputusan yang dibikin pemerintah dalam UU tadi benar-benar telah menjadi solusi paling tepat.
"Mudah-mudahanlah UU ini benar-benar berpihak pada kami. Sekali lagi kami bilang, kami bukan cari kaya. Hanya untuk menyambung hidup, mana tahu bisa lebih baik lagi," kata Turiman.
Abdul Aziz