Yogyakarta, Gatra.com - Pandemi Covid-19 menjadi momen perubahan di segala lini kehidupan, terutama aspek politik dan ekonomi. Gejolak ekonomi-politik di masa pandemi di Indonesia bahkan membuka peluang lahirnya blok politik baru untuk kembali mereformasi negara.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ‘Pandemi sebagai Momen Transformasi Politik Demokratik: Gerakan Warga, Partai Politik, dan Negara’ gelaran Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Jumat (30/10) sore.
Ketua Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sudjatmiko menyatakan bahwa momentum krisis selalu melahirkan gagasan maju dan progresif, terlebih saat krisis itu berupa pandemi.
Ia mencontohkan, wabah 'Black Death' di abad pertengahan telah melahirkan revolusi sains dan pagebluk flu Spanyol memunculkan sejumlah gerakan seperti feminisme, juga liberalisme dan nasionalisme negeri jajahan.
“Pertanyaannya, pandemi saat ini akan melahirkan gagasan dan revolusi macam apa? Di tengah perkembangan teknologi informasi dan bioteknologi, apakah revolusi ini mampu menyejahterakan semua orang?” kata dia.
Menurutnya, sebelum pandemi, dunia tengah berada dalam perjalanan dan di ambang batas revolusi 4.0 berupa otomatisasi dan digitalisasi. Ia menyebut, sekitar 90 juta pekerjaan di dunia butuh otomatisasi dan 70 juta pekerjaan baru tak butuh manusia. Dalam lima tahun mendatang, 50 persen tenaga kerja bahkan butuh peningkatan keterampilan baru.
“Dengan demikian, tidak setiap negara sanggup mengejar itu sehingga butuh tatanan ekonomi, politik, budaya, sosial, bahkan spiritiual baru,” ujarnya.
Ketidakmampuan suatu negara mengikuti revolusi 4.0 itu akan menciptakan ketimpangan sosial. “Bukan cuma digital gap, tapi juga social gap,” kata politisi PDI Perjuangan ini.
Namun dengan pandemi, setiap negara dipaksa mengikuti revolusi itu. “Ibaratnya ada negara SMA, TK, PAUD dan pandemi membuat negara PAUD harus menyelesaikan PR yang sama dengan negara SMA. Karena pandemi, ujiannya sama. Ini memunculkan kekagetan,” tuturnya.
Kondisi ini mau tak mau membuat negara mesti menyiapkan tatanan dan sistem sosial baru. Misalnya saat ini mengemuka usulan pendapatan asas universal (universal basic income, UBI) untuk rakyat. “Kita harus menata ulang aset dari individu sampai tingkat komunitas,” kata dia.
Peneliti PSKP UGM Luqman-Nul Hakim menyatakan bahwa pandemi membuat setiap negara menjalankan agenda dan kepentingannya masing-masing. Di Indonesia, situasi pandemi bahkan melahirkan kontestasi politik yang semakin akut.
“Tapi arena kontestasinya bukan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Sebab kekuatan politik kita tak memiliki ideologi spesifik, tapi beraliansi dengan siapa pun dan menguasai sumber daya untuk kelompok yang terbatas,” tuturnya.
Luqman menyebut, indikasi paling kuat atas kondisi itu tampak dari pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Menurutnya, UU yang melapangkan investasi dan meminggirkan rakyat semacam ini dahulu dibuat atas campur tangan lembaga internasional macam Bank Dunia.
“Tapi sekarang dibuat oleh kelompok politik bisnis. Lembaga dunia sekarang tinggal tepuk tangan,” kata pengajar Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini.
Omnibus Law telah memicu unjuk rasa secara merata di Indonesia. Menurut Luqman, dinamika ini membuka peluang munculnya blok politik baru.
“Tantangannya sekarang membentuk blok politik hegemonik yang 99 persen mewakili rakyat melawan elite. Gerakan politik yang bukan semata untuk melawan rezim, tapi mereformasi negara,” tuturnya.