Jakarta, Gatra.com – Banyak yang merasa “ngeri” ketika dihadapkan pada bahasan zat radioaktif dan nuklir. Padahal radioaktif memiliki banyak kegunaan mulai dari pembangkit listrik, pengobatan, industri, dan pertanian. Di samping kegunaannya yang sangat bermanfaat, radioaktif juga memiliki faktor risiko yang membahayakan. Terutama bagi para pekerja serta lingkungan yang berada di sekitar kawasan radioaktif.
Paparan radiasi pada jaringan atau organ manusia dapat menyebabkan kematian sel dalam skala yang cukup luas merusak fungsi jaringan atau organ. Efek ini dikenal sebagai “efek deterministik”, secara klinis dapat diamati pada individu yang terkena dosis radiasi melebihi tingkat ambang tertentu.
Oleh karenanya kegiatan seperti penggunaan medis radiasi, pengoperasian instalasi nuklir, produksi, pengangkutan serta penggunaan bahan radioaktif, dan pengelolaan limbah radioaktif harus tunduk pada standar keselamatan. Protokol kesehatan dan keselamatan itu terangkum dalam IAEA Safety Standard yang mempertimbangkan temuan dari United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR).
Atas dasar itu, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengeluarkan prinsip keselamatan mendasar poin 10 yakni tindakan perlindungan untuk mengurangi risiko radiasi yang ada dan atau tidak diatur. Tindakan perlindungan untuk mengurangi risiko radiasi yang ada dan atau tidak diatur harus dioptimalkan oleh lembaga nuklir berwenang.
Sistem Pemantauan Zat Radioaktif di Indonesia
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) saat ini mengembangkan Sistem Pemantauan Radiasi untuk Keselamatan dan Keamanan (SPRKK). Sistem ini masuk dalam daftar prioritas riset nasional 2020-2024. Dalam proyek riset tersebut, BATAN lewat Pusat Rekayasa Nuklir menggandeng beberapa institusi yakni: BAPETEN, BMKG, PT Len Industri (Persero) dan Balitbang Kemhan.
SPRKK memiliki fungsi utama sebagai sistem pemantauan radiasi untuk keselamatan, keamanan lingkungan, dan masyarakat. Sistem ini diharapkan mengacu pada pedoman global mengenai isu nuclear security dan emergency preparedness seperti sabotase radioaktif, penyimpanan, dan perdagangan gelap radioaktif serta lepasnya radioaktif dari fasilitas nuklir.
Kepala Pusat Pendayagunaan Informatika dan Kawasan Strategis Nuklir (PPIKSN), Roziq Himawan mengatakan BATAN mengembangkan sistem pemantauan zat radioaktif yang terintegrasi dalam rangka memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa zat radioaktif yang berada di Kawasan Nuklir Serpong, Puspiptek, Tangerang Selatan dipantau secara ketat.
Ia menyatakan kejadian penemuan zat radioaktif di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, pada Januari 2020 menjadi salah satu alasan dilakukannya peningkatan sistem pemantauan radiasi. “Kejadian ditemukannya paparan radiasi lingkungan di atas ambang batas telah menjadikan keprihatinan dan kekhawatiran banyak pihak. Apalagi setelah dilakukan pencarian sumber, teridentifikasi adanya zat radioaktif sebagai pemicu paparan di atas ambang tersebut,” ujar Roziq dalam rilis resmi BATAN pada 3 Agustus 2020.
Menurutnya dengan sistem pemantauan radioaktif terintegrasi, lalu lintas zat radioaktif yang keluar masuk kawasan nuklir Serpong dapat terpantau secara menyeluruh dengan sistem keamanan yang real time. “Secara umum, sistem pemantauan zat radioaktif di kawasan nuklir Serpong sudah ada baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Namun sistem ini bekerja secara terpisah dan belum didukung oleh teknologi informasi yang andal,” katanya.
Pada sistem pemantauan yang baru akan dilakukan peningkatan keandalan sistem sehingga menutup celah “bocornya” zar radioaktif dari radar pemantauan. Sistem tersebut, terang Roziq, akan mengintegrasikan sistem pemantauan, pengelolaan limbah radioaktif, dan pengamanan yang berbasis digital.
Di tahun 2020 ini pihaknya akan fokus pada tiga hal yakni: pembenahan standar operasional prosedur, pengembangan sistem informasi untuk memantau portal monitor radiasi, serta pemasangan unit portal monitor radiasi.
“Pada 2021 akan dilakukan integrasi sistem pemantauan dengan sistem pengelolaan limbah radioaktif dan pemasangan satu unit portal monitor radiasi. Di tahun ketiga 2022 akan dilakukan pengintegrasian sistem pemantauan dengan Sistem Pengamanan BATAN yang ada,” ungkapnya.
SPRKK Mendukung Ekonomi
Kepala Pusat Rekayasa Fasilitas Nuklir (PRFN) BATAN, Kristedjo Kurnianto mengatakan kelengkapan fasilitas pemantauan nuklir di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Kondisi geografis Indonesia dengan banyak gugusan pulau serta diapit dua benua Asia dan Australia memberikan tantangan tersendiri.
“Indonesia itu berada di lokasi yang strategis dimana seperti yang kita ketahui beberapa negara saat ini sudah mulai menggunakan PLTN. Seperti yang kita ketahui Cina saat sekarang ini sangat aktif sekali di samping Jepang dan Korea. Kemudian di Eropa, Amerika, Afrika Selatan juga menggunakan,” ujar Kristedjo dalam temu media di Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan pada 27 Oktober 2020.
Dirinya menjelaskan kebutuhan akan monitor portal radiasi (RPM) nasional idealnya sangat banyak. Indonesia memiliki 172 pelabuhan, wilayah perbatasan, bandar udara, obyek vital, industri dan instalasi nuklir.
Tak hanya itu keberadaan sektor industri juga berperan dalam mengembangkan instalasi nuklir atau berbahan radioaktif. Setidaknya saat ini jumlah izin industri di Indonesia mencapai 6.057 perizinan dengan jumlah instansi 1.123. Sementara itu jumlah izin kesehatan di Indonesia mencapai 7.883 perizinan dengan jumlah instansi mencapai 2.730.
Dengan jumlah perizinan yang besar, Kristedjo mewanti agar Indonesia segera memperhatikan aspek keamanan pemanfaatan zat radioaktif. “Kita melihat jumlah izin industri sekitar 6 ribuan, bisa dibayangkan begitu banyak sumber yang digunakan oleh industri di Indonesia. Di bidang kesehatan ada 7 ribuan sehingga total ada hampir 13 ribu. Itu menunjukkan bahwa pemanfaatan energi nuklir sudah sangat luas. Dan itu harus diawasi dengan baik,” katanya.
Oleh karenanya BATAN merancang Sistem Pemantauan Radiasi Untuk Keselamatan dan Keamanan (SPRKK) yang akan memantau radiasi lingkungan secara kontinu dan real-time, baik saat kondisi normal (baseline) maupun kondisi kedaruratan. Sampling dan analisis terhadap zat radioaktif dilakukan terhadap tanah, air, dan udara.
“Untuk itu kita harus secara rutin memantau radiasi sehingga apabila terjadi insiden-insiden kita mengetahuinya secara rinci. Di samping itu pemanfaatan sumber radioaktif itu sudah sangat luas, kalau tidak dikelola dengan baik maka bisa menimbulkan bahaya bagi masyarakat,” katanya.
Keberadaan SPRKK menurutnya tidak hanya sebatas kontrol teknis tetapi juga berperan dalam mendukung aktivitas ekonomi. Misalnya ada isu komoditas ekspor mengandung zat radioaktif maka akan secara langsung dideteksi keberadaannya melalui portal monitor radiasi di pintu perdagangan. Begitu juga SPRKK akan berupaya menghalau potensi masuknya produk/barang terkontaminasi dari luar.
“Jadi kita membutuhkan sistem pemantauan radiasi untuk tanah, air dan udara dengan menggunakan teknik radiasi. Kita pernah punya pengalaman ketika kita mengekspor suatu commodity kemudian dikembalikan ke Indonesia karena menjadi sumber radiasi dan tidak bebas dari kontaminasi. Oleh karenanya isu ini menjadi sangat penting bagi kita semua,” ujar Kristedjo.
BATAN menurutnya akan merancang sistem pemantauan radiasi laik industri, prototipe alat pengukur radiasi lingkungan laik industri, sistem pemantauan radiasi lingkungan, beserta kebijakan pendukungnya. SPRKK yang dibuat harus memiliki tingkat kandungan dalam negeri yang tinggi, perangkat pengukur radiasi layak industri dengan indikator tersedianya perangkat pengukur radiasi layak industri produksi dalam negeri.
SPRKK berskala nasional terdiri dari RPM yang ditempatkan di pelabuhan dan bandara, pemantauan radiasi lingkungan yang bersifat statis pada stasiun cuaca BMKG, serta pemantauan radiasi bersifat mobile pada kendaraan militer, kendaraan sipil, drone darat, sipil maupun udara. “Sistem ini bisa memantau alat-alat itu statusnya bagaimana. Saat ini dengan komunikasi yang secure, visualisasi berbasis GIS kita bisa memiliki sistem yang baik dan keselamatan terjamin”.
Kristedjo menyebutkan saat ini Indonesia sudah memiliki portal monitor radiasi yang juga bantuan dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Detektor radiasi lingkungan tersebut berada di Kawasan Nuklir Serpong/KNS (6 detektor), Kawasan Nuklir Bandung/KNB (1 detektor), Kawasan Nuklir Yogyakarta/KNY (1 detektor), dan Istana Negara (1 detektor).
“Untuk saat ini BATAN sudah memiliki [RPM] tapi skalanya sangat terbatas untuk sistem pemantauan radiasi nasional ini. Dan itu peralatannya didominasi oleh produk impor jadi kita sangat tergantung dengan luar,” katanya.
Dengan banyaknya pintu masuk pelabuhan dan bandar udara di Indonesia, BATAN sedang mengupayakan 2 prototipe portal radiasi buatan dalam negeri yang sudah diujicoba di Kawasan Nuklir Pasar Jumat, Jakarta dan Kawasan Nuklir Serpong, Tangerang Selatan.
“Untuk prototipe industri kondisi saat ini masih 100% impor. Sebenarnya teknologinya sudah kita kuasai. Untuk itu kita menggulirkan produk ini sampai akhir 2024, dimana industri siap untuk memproduksi. Kita berharap benar-benar memiliki program yang sesuai dengan peraturan yang ada,” ujar Kristedjo.
Ia menyatakan BATAN sudah merancang roadmap perekayasaan teknologi sistem pemantauan radiasi tahun 2020-2024.Beberapa hal yang masuk dalam rancangan teknologi yakni perekayasaan perangkat Intelligent Radiation Monitoring System untuk deteksi radionuklida di lingkungan, perekayasaan perangkat RPM Gross, perekayasaan perangkat RPM Spektroskopi, perekayasaan perangkat RPM Pedestrian, Sistem Informasi SPRKK, dan kebijakan pendukung.
“Tahun ini kita sudah menyiapkan prototipe awal, skala lab. Ada juga RPM yang kita buat dalam beberapa progres yang masih dalam bentuk model. Untuk tahun 2021 ada beberapa uji lapangan dan juga persiapan lab uji. Itu semua seperti kita ketahui tidak mudah, kita butuh dukungan dari banyak pihak termasuk Kemristek/BRIN,” pungkasnya.