Jakarta, Gatra.com - Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Aisah Putri mengatakan, terdapat empat akar konflik di Papua yang hingga saat ini masih belum bisa diselesaikan pemerintah.
"Pertama marjinalisasi dan diskriminasi, kemudian kegagalan pembangunan, lalu sejarah dan status politik Papua, serta kekerasan negara dan pelanggaran HAM," katanya dalam diskusi virtual melalui aplikasi Zoom Meeting, Jumat (30/10).
Menurutnya, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan akar konflik ini masih belum membuahkan hasil. Pertama, penerapan operasi milier pada masa orde baru yang akhirnya dicabut pada era reformasi, namun masih kehadiran aparat militer berlebih masih terjadi di Papua.
"Kemudian ada juga pendekatan baru yang dilakukan oleh pemerintah di masa reformasi yakni otonomi khusus dengan pendekatan pembangunan. Otonomi khusus mulai diterapkan sejak 2001 undang-undangnya, kemudian dana otsus dan implementasinya mulai 2002 sampai hari ini," ujarnya.
Namun, tambahnya, setelah 20 tahun implementasi otonomi khusus ini, LIPI menilai masih belum efektif. Lantaran, masih terjadinya isu-isu marjinalisasi terhadap Papua. Bahkan, berdasakan hasil temuan LIPI, tingkat kemiskinan di berbagai wilayah dengan mayoritas orang asli Papua, masih cukup tinggi.
"Ini menunjukkan bagaimana otsus dengan dana yang begitu besar setelah 20 tahun ternyata tidak bisa meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua," jelasnya.
Selanjutnya, dalam penyelesaian kasus kekerasan dan pelanggaran HAM Papua juga masih belum bisa terselesaikan. Padahal, Presiden Joko Widodo telah berjanji di awal pemerintahannya pada tahun 2014 lalu akan segera mengusut cepat dan melakukan investigasi kasus-kasus ini.
Aisah juga menyebut upaya pertemuan pemerintah dengan tokoh-tokoh Papua bukan sebuah dialog untuk menyelesaikan konflik. Lantaran, dari lebih dari 10 kali pertemuan yang dilakukan dalam 20 tahun ini, tidak membuahkan hasil apapun.
"Karena pendekatan dialog tidak sekedar pertemuan antara pemerintah dengan para tokoh-tokoh Papua. Tapi ini harus dilihat secara lebih kompleks. Disitu harus bersifat inklusif, dalam artian melibatkan banyak pihak terutama aktor-aktor utama konflik. Kemudian harus komprehensif, artinya benar-benar membahas semua akar masalah yang ada di Papua dan berusaha mencari solusi bersama untuk mengakhiri konflik Papua," ungkapnya.