Home Internasional Strategi Trump Mengejar Biden

Strategi Trump Mengejar Biden

Jelang pemilu, Partai Republik mengumumkan temuan surel mencurigakan terkait bisnis keluarga Biden di Ukraina. Di sisi lain, sejumlah film dokumenter yang memojokkan Trump, kini tayang dan beredar di publik. Pilpres AS diprediksi berlangsung ketat dengan jumlah pemilih awal melampaui total pemilih pada pemilu 2016.



Sebelas hari sebelum pemilihan presiden 2016, Direktur FBI saat itu, James Comey, meledakkan isu besar di Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa sejumlah agen FBI sedang menyelidiki kumpulan surel mencurigakan yang baru ditemukan dari peladen (server) pribadi capres Hillary Clinton.

Intervensi tak lazim itu memang tak menghasilkan bukti nyata adanya pelanggaran keamanan nasional. Namun kejadian itu cukup untuk mendatangkan malapetaka di akhir kontes pemilu bagi Partai Demokrat. The Guardian menulis, hingga hari ini, banyak pihak menduga insiden itu menjadi faktor utama yang membuat capres Partai Republik, Donald Trump, menang dan naik kursi di Ruang Oval, Gedung Putih.

Kali ini, tim kampanye Trump menjalani taktik serupa. Tepat 20 hari sebelum Pemilu 3 November 2020, New York Post memuat tajuk utama berjudul "Biden Secret Emails" alias "Surel-Surel Rahasia Biden". Media yang dimiliki pebisnis pro-Republik, Rupert Murdoch itu, menerbitkan tulisan mereka pada Rabu, 14 Oktober 2020.

Isinya tentang temuan sebuah laptop di toko perbaikan komputer di Delaware, negara bagian asal capres Demokrat, Joe Biden. Dalam hard drive, konon ada sejumlah surel pribadi dari putra Biden, Hunter, yang menunjukkan konflik kepentingan tidak pantas terkait bisnis keluarga Biden di Ukraina saat Joe menjabat sebagai Wapres bagi Barack Obama. 

Kondisi ini serupa dengan saga 2016. Tak berbeda dengan surel Clinton, surel Hunter Biden juga diragukan keabsahan isi dan asal-usulnya. Pemilik toko perbaikan komputer tersebut, John Paul MacIsaac, juga mengatakan tak seratus persen yakin bahwa konsumen yang datang mengantar laptop rusak itu benar-benar Hunter Biden.

"Itu strategi yang sangat menyedihkan," ujar Analis pada Institusi Brookings, Elaine Kamarck. "Siapa yang tahu isu apa lagi yang bisa mereka lontarkan. Anda memiliki seorang presiden dengan tingkah laku makin aneh."

Dampak kasus surel pada empat tahun silam, menurunkan skor Clinton hingga empat poin di sejumlah jajak pendapat nasional. Situasi yang sama tampaknya tidak dialami Biden yang hingga kini masih unggul 9-10 poin dibanding Trump pada beberapa jajak pendapat.

CNN bahkan menulis bahwa Biden bisa menang dengan sebatas menjaga jumlah pemilihnya saja, sebab pendukung Trump terus menurun jumlahnya. ABC News yang menggandeng Ipsos dalam pelaksanaan jajak pendapat, menemukan bahwa setelah debat final, penilaian positif atas Trump ada di level -22 poin. 

***

Deretan hasil jajak pendapat itu dipublikasikan setelah debat terakhir Trump vs Biden berlangsung pada Kamis malam, 22 Oktober, atau Jumat pagi, 23 Oktober WIB. Pertemuan 90 menit di Nashville tersebut berjalan lebih bermartabat dibanding debat sebelumnya. Debat perdana yang terlaksana di Cleveland, Ohio, pada Selasa, 29 September malam atau Rabu, 30 September pagi WIB itu, penuh interupsi dan saling hujat.  

Moderator kali ini adalah Jurnalis NBC News, Kristen Welker. Ia menjaga ketat durasi kedua kandidat ketika melontarkan pertanyaan tentang pandemi virus corona, kondisi ekonomi, pembayaran pajak para kandidat, serta dugaan campur tangan asing dalam pemilu.

Lebih jauh lagi, Komisi Debat Presiden (Commission on Presidential Debates/CPD) menempatkan staf mereka di ruang produksi acara debat. BBC menulis, staf ini bertanggung jawab mematikan mikrofon kandidat pada saat tertentu. Ketika masing-masing capres diberi waktu dua menit untuk menjawab pertanyaan moderator, maka staf itu akan mematikan mikrofon kandidat yang tidak mendapat giliran menjawab.

Meski demikian, warganet menilai staf itu tak bekerja dengan maksimal. Buktinya, baik Trump maupun Biden tetap melakukan sejumlah interupsi yang tak signifikan saat debat berlangsung. Namun tak bisa disangkal, dibanding debat pertama, pertarungan terakhir ini berjalan hampir tenang. Meskipun penyampaiannya lebih jelas, tidak ada kandidat yang tidak melempar kalimat pedas. Makin malam, debat makin panas.

"Ia tidak ingin berbicara tentang masalah substantif," kata Biden. Kalimat ia ini mengacu pada pernyataan bertele-tele Trump soal tuduhan mendapat keuntungan finansial di luar negeri. Biden balik menuding, Trump tak hanya tak melaporkan pajak selama puluhan tahun, tetapi juga memiliki akun bank di Cina.

"Itu tuduhan politis yang standar. Ayolah Joe, Anda bisa melakukan lebih baik," balas Trump, dilansir CNBC. Trump menuding Biden mendapat kucuran dana dari Rusia, Cina, dan Ukraina.

"Kita akan masuk dalam musim dingin yang gelap," demikian kritik lain dari Biden. Kali ini dia bicara soal gagalnya pemerintahan Trump menangani pandemi Covid-19. Termasuk kekhawatiran akan ketersediaan vaksin secara merata pada tahun mendatang.

"Saya pikir, kita tak akan masuk musim dingin yang gelap. Kita sedang membuka kembali negara kita. Kami sudah mempelajari dan memahami penyakit ini, berbeda dengan kondisi saat awal pandemi," ucap Trump menggebu-gebu.

Optimisme Trump ini sejalan dengan pernyataannya sepanjang tahun bahwa pandemi ini bisa dikendalikan sepenuhnya. Hal yang lantas muncul di dokumenter terbaru Alex Gibney, "Totally Under Control". Film berdurasi dua jam tiga menit itu memaparkan mulai dari abainya kabinet Trump menangani pandemi, hingga kelalaian pemerintah atas dukungan terhadap hydroxychloroquine sebagai obat virus corona.

Jika menilik ke belakang, penggunaan media baru dalam politik, termasuk penggunaan film dokumenter, bermula di era pertama Obama. Usai menang Pilpres 2008, produser Edward Norton meluncurkan film "By the People: The Election of Barack Obama". Film yang tayang pada 2009 itu berisi kumpulan kisah kampanye Obama setahun sebelumnya hingga akhirnya menang pemilu.

Pada pilpres 2012, terbit dokumenter "2016: Obama"s America" yang disutradarai Dinesh D’Souza dan John Sullivan. Konon, Rupert Murdoch adalah otak di balik film anti-Obama ini. Periode berikutnya, pada 2016, sutradara Michael Moore menghasilkan dokumenter "Michael Moore in Trumpland" yang membeberkan kebobrokan Trump dan mendorong pemilih untuk tak mencoblosnya.

Kini, selain "Totally Under Control", setidaknya ada enam dokumenter politik yang tayang jelang 3 November 2020. Salah satunya, "The Swamp" yang bercerita dari sudut pandang Anggota DPR Republik, Matt Gaetz, dan sejumlah anggota partai lainnya tentang politik yang penuh budaya korupsi di era Trump.

Ada pula film "#Unfit: The Psychology of Donald Trump". Sejumlah psikoanalis menjabarkan karakter Trump yang disebut narsisme parah dan memiliki kecenderungan paranoia, anti-sosial, dan sadisme. Film-film itu, menurut USA Today, dapat memengaruhi pendapat kelompok liberal dan terutama konservatif. 

***

Data yang dikumpulkan Elect Project menemukan bahwa per Minggu, 25 Oktober 2020, sudah ada lebih dari 57 juta pemilih mencoblos surat suara mereka. Angka ini bahkan sudah 40% lebih banyak dari jumlah total surat suara tercoblos pada pemilu 2016. 

Seperti diketahui, Selasa, 3 November 2020 bukan hanya menjadi hari pemilu, melainkan hari terakhir pengumpulan surat suara. Pemungutan suara berlangsung pertama kali pada Jumat, 18 September 2020 di empat negara bagian. Selama dua bulan lebih, semua orang yang memenuhi syarat bisa mencoblos langsung di TPS atau mengirim surat suara mereka lewat kantor pos.

Hasil pengamatan ABC News, setidaknya ada 18 juta yang datang langsung ke TPS sejauh ini. Di seluruh 43 negara bagian, tampak banyak pemilih yang rela mengantre berjam-jam untuk bisa mencoblos. Di salah satu TPS di Negara Bagian Georgia, malah ada yang mengantre sampai seharian dan bertahan di bawah suhu 3 derajat Celsius. 

Sejumlah pencoblos mengatakan, mereka tak terlalu percaya pada kantor pos. Itulah sebabnya mereka rela mengantre secara fisik. Alasannya, warga ragu atas hubungan dekat antara Trump dan pimpinan Kantor Pos, Louis DeJoy. Pengusaha yang juga diketahui merupakan salah satu pendonor besar dalam kampanye Trump. Alhasil, timbul kekhawatiran akan adanya surat suara terlambat tiba, kotak pos yang terlalu penuh, juga surat hilang saat disortir.

Flora Libra Yanti