Meluasnya wabah corona telah menjungkalkan ekonomi daerah yang selama ini bertumpu pada pariwisata, pendidikan dan UMKM. Pemerintah daerah diarahkan untuk membentuk ketahanan kabupaten/kota imbas pandemi Covid-19. Seperti apa efektivitas penyaluran dana PEN untuk daerah?
GATRAReview.com - Tak pandang bulu, pandemi virus corona turut menghantam ekonomi daerah. Daerah yang selama ini mengandalkan pariwisata, pendidikan, dan UMKM mengalami kenyataan bahwa sektor itu terdampak cukup parah. Oleh karenanya, pemerintah memasukkan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (pemda) dalam kalkulasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dari data yang dihimpun dari kementerian keuangan setidaknya disiapkan anggaran Rp106,11 triliun untuk kementerian/lembaga dan pemda. Dukungan untuk pemda terdiri dari cadangan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik sebesar Rp8,7 triliun. Dana Insentif Daerah (DID) pemulihan ekonomi Rp5 triliun, dan fasilitas pinjaman ke daerah Rp10 triliun.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebutkan delapan daerah telah mengusulkan pinjaman PEN ke pemerintah pusat per Agustus lalu. “Mereka menyampaikan keinginan untuk mendapatkan pinjaman daerah yang berbunga sangat rendah atau nol persen,” kata Sri dalam raker bersama Komisi XI DPR di Jakarta, pada 24 Agustus 2020.
Sri Mulyani merinci kedepan daerah tersebut di antaranya: DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Probolinggo, dan Bogor. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan total keseluruhan pinjaman yang diajukan oleh daerah sebesar Rp12,24 triliun (th 2020) dan Rp16,07 triliun (th 2021).
“Untuk 2021 nanti akan dibahas dalam RAPBN 2021, sehingga total untuk pinjaman daerah dalam masa susah dimana PAD mereka mengalami penurunan yang sangat drastis saat ini mencapai Rp28,32 triliun,” ujarnya.
DKI Jakarta dan Jawa Barat menjadi dua provinsi pertama yang memeroleh fasilitas dana PEN, dengan total pinjaman dari pusat mencapai Rp16,48 triliun. Rinciannya, DKI Jakarta mendapatkan pinjaman senilai Rp12,48 triliun, sedangkan Jawa Barat sebesar Rp4 triliun.
Pinjaman diusulkan untuk menambal defisit DKI Jakarta yang meningkat karena penurunan PAD serta realokasi dan refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19. Anggaran itu juga akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang terkendala, utamanya sektor pelayanan air minum, pengendalian banjir, pengolahan sampah, transportasi, pariwisata, dan olahraga.
Sementara untuk Jawa Barat, anggaran diperuntukkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Seperti rumah sakit, puskesmas, fasilitas kesehatan, infrastruktur logistik seperti jalan atau jembatan, perumahan MBR, serta infrastruktur lingkungan seperti irigasi dan drainase. Termasuk penataan kawasan khusus seperti alun-alun, destinasi wisata, dan creative center.
“DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan dua provinsi yang mengajukan dan proyek yang disampaikan relatif siap,” ucap perempuan yang karib disapa Ani itu.
Adu Tangkas Daerah Kelola Dana PEN
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bertekad memanfaatkan pinjaman Rp12,48 triliun dari pemerintah pusat melalui PT Sarana Multi Infrastruktur guna menuntaskan sejumlah program prioritas yang tertunda.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria menyatakan program prioritas yang sempat tertunda di antaranya: program kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan program penanganan banjir.
“Pak Gubernur memastikan program-program yang menjadi prioritas di tahun 2020-2021 bisa terus dapat dilaksanakan sesuai optimalisasi APBD dan bantuan dari PT SMI dan juga dari program-program yang kami akan kerja samakan dengan pihak ketiga atau swasta,” kata Riza dalam keterangannya di Jakarta, 27 Juli 2020.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta sebelumnya merinci enam (6) program prioritas dari DKI yang diajukan untuk pinjaman PEN daerah. Nilai pinjaman yang diusulkan Pemprov DKI yakni sebesar Rp12,5 triliun.
“Pengajuan keenam program prioritas itu dilakukan dengan pertimbangan adanya sejumlah proyek infrastruktur yang terhenti akibat pandemi Covid-19,” ujar Kepala Bappeda DKI Jakarta, Nasruddin Djoko kepada wartawan Gatra review Dwi Reka Barokah.
Ia mengurai program pertama yang diajukan Pemprov DKI Jakarta adalah pengendalian banjir dengan kisaran usulan pinjaman sebesar Rp1,7 triliun pada 2020, dan tahun berikutnya sebesar Rp3,6 triliun.
Program kedua yakni infrastruktur olahraga dengan kisaran anggaran Rp1,1 triliun pada 2020 dan Rp2,5 triliun di tahun berikutnya. “Program ketiga itu infrastruktur pengelolaan sampah sebesar Rp560 miliar di 2020 dan Rp550 miliar untuk tahun berikutnya. Infrastruktur pengelolaan sampah ini merupakan infrastruktur dasar pelayanan kepada masyarakat yang perlu dipenuhi,” kata Nasruddin.
Program prioritas keempat berkaitan dengan konstruksi infrastruktur pariwisata dan kebudayaan. Usulan pagu untuk program ini berada di kisaran Rp200 miliar di 2020. “Usulan pagunya yang mungkin agak tinggi itu pada tahun 2021 yakni sebesar Rp1,2 triliun”.
Sementara program prioritas kelima adalah pembangunan transportasi yang sempat terhenti akibat pandemi Covid-19. Nilai usulannya berada di angka Rp780 miliar pada 2020.
“Untuk prioritas yang keenam itu infrastruktur pelayanan air minum, di tahun 2020 dan 2021 kami mengusulkan pinjaman sebesar Rp20 miliar. Tetapi saya sampaikan angka ini masih bergerak karena masih pengajuan. Secara total angkanya Rp4,49 triliun di tahun 2020 dan Rp8,02 triliun di tahun 2021,” ujarnya.
Tak hanya DKI, Pemprov Jabar juga berupaya melakukan pemulihan pasca Covid-19. Kepala Bappeda Jawa Barat, M. Taufiq Budi Santoso mengatakan pihaknya telah menyusun tiga (3) langkah penyelamatan. Pertama, penyelamatan ekonomi dengan fokus menghidupkan kembali sektor UMKM yang terdampak Covid-19 dengan berpedoman pada protokol kesehatan.
Langkah kedua, pemprov melakukan pemulihan dengan fokus pada program penyelamatan, membuka bidang bisnis, investasi, dan industri besar. “Selanjutnya penormalan dengan fokus pada kelanjutan program pemulihan dan sektor ekonomi lainnya secara normal, termasuk pengembangan infrastruktur melalui skema alternatif pembiayaan,” ujar Taufiq kepada Gatra review.
Dirinya menyebutkan sejauh ini pihaknya belum melakukan alokasi dana PEN disebabkan pemprov masih menjalani proses penandatangan perjanjian pinjaman pembiayaan dengan PT Sarana Multi Infrastruktur.
Taufiq merincikan total anggaran yang dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi Jabar yakni sebesar Rp8,6 triliun. Dengan rincian, anggaran untuk jaring pengaman sosial sebesar Rp3,89 triliun, anggaran untuk penanganan dampak ekonomi sebesar Rp705 miliar, dan anggaran untuk pemulihan ekonomi sebesar Rp4 triliun untuk pemulihan ekonomi.
Pemprov Jabar, sambungnya, baru mengajukan usulan pinjaman sebesar Rp4 triliun yakni sebesar Rp1,9 triliun (Tahun 2020) dan Rp2,09 triliun (Tahun 2021). Kegiatan pengalokasian anggaran fokus pada tiga (3) hal yakni: kemanfaatan bagi masyarakat, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penggunaan bahan baku lokal.
“Sehingga kita tentu akan menitikberatkan sektor kesehatan mulai dari pembangunan rumah sakit, puskesmas hingga penyediaan alat kesehatan”. Anggaran PEN, Taufiq menambahkan, juga digunakan untuk perbaikan lingkungan, saluran irigasi, dan peningkatan mutu jalan dan jembatan.
“Selain itu juga untuk membangkitkan lokomotif ekonomi di sektor pariwisata dengan pembangunan atau revitalisasi destinasi pariwisata serta pembangunan alun-alun sebagai tempat berinteraksi sosial,” katanya.
Ia merinci, dari usulan pinjaman PEN Rp4 triliun, sebesar Rp1 triliun akan dialokasikan untuk sektor kesehatan. Pembiayaan lain sebesar Rp607 miliar berasal dari APBD, sehingga total anggaran sektor kesehatan menjadi Rp1,6 triliun.
Infrastruktur menjadi sektor penerima anggaran PEN terbanyak. Pemprov Jabar berencana mengalokasikan anggaran sebesar Rp3 triliun untuk infrastruktur. Di antaranya sektor jalan, pengairan, air limbah, perumahan rakyat, sarana olahraga, perkotaaan (ruang terbuka hijau dan bangunan publik), sarana peribadatan, dan pariwisata.
Pemprov Jabar juga memberikan fokus perhatian untuk pemberian dana PEN bagi sektor ekonomi kreatif. Hal itu disebabkan Jabar dikenal sebagai provinsi pencetak ekonomi dan milenial kreatif. “Untuk pembiayaan sektor ekonomi kreatif akan dialokasikan pada pembangunan Gedung Kreatif Center di tiga lokasi yaitu Kota Bogor, Kota Cirebon dan Kabupaten Sumedang dengan nilai Rp27,7 miliar,” katanya.
Untuk mendongkrak sumber pendapatan baru daerah, Pemprov Jabar menurutnya akan memanfaatkan potensi pembiayaan alternatif antara lain pinjaman daerah dan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
PEN Bangkitkan Pariwisata & Pendidikan
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersigap melakukan pemulihan ekonomi saat Covid-19. Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY, Tri Saktiyana menganalogikan DIY sebagai pesawat terbang berbaling-baling empat. “Baling-baling utamanya pendidikan dan pariwisata,” ujar Tri kepada Gatra review ketika diwawancara pada 4 September 2020.
Pendidikan menjadi sektor yang paling mendapat sentuhan karena banyaknya kampus di DIY dengan sekitar 300 ribu mahasiswa luar Yogyakarta. Terlebih dari itu, Yogyakarta masyhur dikenal sebagai kota pendidikan dengan sejarah dan coraknya. “Jumlah itu signifikan terhadap pertumbuhan DIY. PDRB-nya menyumbang 24 persen,” katanya.
Setelahnya ada sektor pariwisata yang menyumbang PDRB sekitar 22 persen, dengan tingkat kunjungan hingga 6,2 juta wisatawan per tahun. Di triwulan I 2020, kedua bidang tersebut tak berkontribusi besar ke DIY. Pada triwulan II saat wabah corona memuncak, ekonomi DIY minus 6,7 persen.
Kontribusi ekonomi dari sektor pendidikan belum maksimal karena kuliah tatap muka masih direncanakan bertahap dengan protokol ketat. Sementara pendapatan dari wisatawan mancanegara juga terkendala banyak hal seperti travel warning dan prosedur penerbangan yang ketat. Pelaku wisata juga belum memaksimalkan kapasitas kunjungan.
Sebelumnya sektor pariwisata menyumbang PDRB sebesar 22 persen dengan kunjungan hingga 6,2 juta wisatawan per tahun. Baik pariwisata maupun pendidikan menjadi sektor yang cukup terpukul pandemi Covid-19. “Dua baling-baling ini berbasis kerumunan. Tanpa kerumunan, baling-baling ini seret,” kata dia.
Meski demikian, Pemprov DIY terus berupaya membangkitkan sektor pariwisata baik dengan pengganggaran maupun penyusunan kebijakan. “Kondisi ini digunakan untuk membenahi objek wisata, dari sisi fisik dan manajerial. Wisatawan diterima bertahap, bukan mass tourism, tapi keluarga sehingga yang ditekankan sisi kualitatifnya.”
Untungnya, kata Tri, DIY tertopang oleh baling-baling ketiga dan keempat yakni sektor pangan mencakup pertanian, kelautan, dan industri pengolahan. Industri pengolahan, terangnya, bahkan masih melakukan ekspor terutama produk kerajinan yang dikirim ke Eropa.
“Sektor pertanian, alat, benih, dan pupuk kami jamin keberadaannya. Kelautan kami upayakan tak ada hambatan. Industri pengolahan DIY juga beda dengan daerah lain, bukan di kawasan industri melainkan bersifat industri rumah tangga. Jadi kalau work from home sudah biasa.”
Tri menyebutkan alokasi anggaran sektor ekonomi akan memprioritaskan sektor UMKM dibanding pelaku usaha non UMKM. Sedangkan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan dipergunakan untuk alat tes Covid, sarpras RS, dan APD.
“Tak ada kebijakan menukarkan kesehatan dan ekonomi, trade off. Dua-duanya harus jalan. Seperti kereta api, biasanya lokomotifnya ekonomi. Itu kondisi normal. Sekarang lokomotifnya ganti kesehatan, gerbongnya pendidikan, ekonomi, dan budaya. Kesehatan membaik mengerek lainnya.”
PEN di DIY menurutnya belum terealisasi karena pembahasan masih berjalan. Meski demikian, pemda DIY tidak menunggu realisasi PEN guna membangun infrastruktur. Misalnya proyek jalan tol DIY ke Bawen dan Solo yang tetap lanjut.
Selain itu, DIY juga tengah mengkaji pembuatan LRT dan rencana produksi air minum di Bantul dan Kulon Progo yang mengandalkan Bendungan Kamijoro yang dikoordinasikan dengan Pemda DIY. “Ini skema kerja sama KPBU. Sudah dihitung, perjanjian gubernur-bupati. Teknisnya PDAM membeli air curah PDAM DIY untuk disalurkan ke masyarakat. Ada atau tidak ada pandemi [program] sudah disiapkan,” katanya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan potensi ekonomi terbesar di DIY berasal dari pariwisata dan pendidikan. Namun karena pandemi Covid-19, pariwisata DIY belum dibuka sepenuhnya dan mahasiswa belum berkuliah hingga September.
“Sumbangan belanja sama masuk objek [wisata] apa cukup mendongkrak pertumbuhan? Iya, tapi sangat kecil. Tapi kalau mahasiswa sudah jelas sebesar Rp6,7 triliun masuk,” ujar Sultan dalam keterangannya di Kompleks Pemda DIY, Kepatihan, Kota Yogyakarta, pada 6 Agustus 2020.
Menurutnya saat ini Pemda DIY dan Pemda Kabupaten/Kota masih berembuk untuk mengucurkan APBD Perubahan untuk pembangunan di pengujung tahun 2020. “Bangun gorong-gorong empat bulan harus bisa dilakukan. Yang penting duit keluar supaya peredaran uang lebih banyak. Jangan malah perhitungan, dalam arti dibatasi,” katanya.
Sultan mengakui kondisi ekonomi DIY di kuartal II cukup sulit. Apalagi peredaran uang minim jika hanya mengandalkan dana Pemda DIY dan perputaran uang di tengah 3,7 juta warga DIY. Kondisi tersebut akan teratasi jika ada investasi sektor swasta masuk ke DIY.
“Misal anggaran kabupaten/kota Rp25 triliun. Saya kira dengan masyarakat 3,7 juta orang itu, sebanyak 36 persen untuk memberi pertumbuhan ekonomi. Berarti swasta 64 persen, dua kali lipatnya, harus ada Rp50 triliun yang masuk. Kalau ada Rp75 triliun berarti tumbuh 3-5 persen,” ucap Raja Keraton Yogyakarta itu.
PEN Pengungkit Ekonomi
Pakar ekonomi UGM, Prof. Mudrajad Kuncoro mengatakan Indonesia telah mengalami penurunan produk domestik bruto dan negatif pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diprediksi akan terus merosot bila pemerintah tak segera melakukan pemulihan.
“Kita harus akui sudah masuk jurang resesi. Pertanyaannya, kita sudah di jurang paling dalam atau ada kemungkinan turun lagi. Atau bisa menanjak di triwulan ketiga,” ujar Mudrajad saat dihubungi Gatra review, pada 4 September 2020.
Program pemulihan ekonomi yang digulirkan pemerintah lewat APBN dan APBD ibarat pengungkit. “Pengungkitnya harus dipercepat. Tapi kalau dicermati realisasi sampai sekarang di bawah 30 persen. Ini belum jadi pengungkit,” kata dia.
Menurut Mudrajad, anggaran PEN harus fokus pada sektor-sektor yang tumbuh negatif termasuk di daerah. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi positif hanya didapati di dua daerah yakni: Kalimantan Selatan dan Papua karena mengandalkan ekspor SDA.
Program untuk UMKM misalnya tidak cukup dengan restrukturisasi kredit, tetapi juga subsidi bunga dan modal usaha. “Restrukturisasi itu selesaikan masalah dengan masalah. Bunga atau pokok pinjaman dihapus enam bulan, tapi di bulan ketujuh naik. Yang diperlukan subsidi bunga dan kredit atau modal baru.”
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM itu mengatakan sebanyak 99 persen pelaku usaha ekonomi nasional berasal dari sektor UMKM, meski nilai ekspornya kurang 20 persen. “Ekspor ini mulai positif dan harus digenjot, diberi fasilitas kredit ekspor untuk pasar yang tumbuh ratusan persen seperti ke Timteng, Afrika, dan Amerika latin. Kita mesti merajai pasar kecil tapi terus tumbuh.”
Ia menambahkan sektor transportasi dan gudang merupakan yang paling terpukul dengan adanya pandemi Covid-19. Sementara sektor yang tumbuh yakni informatika dan komunikasi serta sektor pertanian, perikanan dan perkebunan.
“Meski begitu nilai tukar petani Jateng, misalnya, ternyata turun. Petani juga terpukul. Petani rugi, banyak yang lebih dibelanjakan,” ujarnya.
Pemerintah, terang Mudrajad, harus fokus pada tiga (3) hal yakni: pro-health, pro job, dan pro poor. Salah satu langkah penting yang harus diambil yakni membuka peluang kerja. Disebabkan banyaknya angka pengangguran seperti di Banten yang mencapai 8 persen. “Krakatau Steel itu habis berhentikan 35 ribu orang [karyawan], perusahaan lain 500-1.000 orang,” pungkasnya.
Di kesempatan berbeda, Direktur Program INDEF, Esther Sri Astuti mengatakan baik pusat maupun daerah memiliki persoalan yang sama terkait anggaran PEN. Menurutnya regulasi yang kaku menjadi ganjalan terselenggaranya program PEN.
“Sama halnya dengan pemerintah pusat yang berarti anggarannya APBN. Dan itu diturunkan ke daerah berarti pakai APBD, yang ujung-ujungnya juga APBN,” ujarnya kepada wartawan Gatra review, M. Almer Sidqi pada awal September lalu.
Ketimpangan data menurutnya masalah yang juga ditemukan di daerah. Hal itu yang menyebabkan BLT kerap tidak tepat sasaran. Misal banyak keluarga yang tidak mendapat BLT padahal berhak. Sebaliknya banyak yang mendapat BLT padahal tidak berhak.
“Karena daerah satu dan daerah lain sangat berbeda. Mungkin DKI Jakarta relatif lebih baik dari daerah lain dalam penanganan Covid-19 ini,” katanya. Hal yang sebaiknya dilakukan, menurut Ester, yakni melakukan sinkronisasi data agar bansos bisa disalurkan melalui transfer.
Dalam kajian INDEF baru-baru ini, Esther menyebut setidaknya ada dua skema yang bisa dilakukan pemerintah untuk pemulihan ekonomi. Pertama, kebijakan yang difokuskan pada sisi penawaran atau suplai. Kedua, kebijakan yang difokuskan pada sisi permintaan.
“Karena kalau kita melihat struktur dari produk domestik bruto, pertumbuhan ekonomi atau kapasitas perekonomian Indonesia itu 56 persen ditopang oleh konsumsi masyarakat,” ujarnya. Ester menambahkan skema yang ideal yakni fokus pada permintaan dengan menggelontorkan anggaran ke rumah tangga.
Untuk memperbaiki struktur ekonomi, lanjutnya, perlu ada peningkatan konsumsi. Jika konsumsi melemah, pertumbuhan ekonomi akan menurun. Ester berpandangan saat ini yang perlu diprioritaskan adakah kebijakan di sisi permintaan, baru setelahnya kebijakan di sisi suplai.
Di masa pandemi Covid-19, pemerintah daerah juga dituntut untuk menemukan sumber keuangan baru untuk mendongkrak ekonomi daerah. Menurut catatan INDEF, total Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada 2019 dinilai sangat kecil. Sementara penerimaan pemerintah pusat hampir mencapai Rp2.000 triliun. “Itu sangat timpang,” ujarnya.
Menurutnya penting bagi daerah meningkatkan partisipasinya terutama dalam menggenjot pendapatan daerah. “Investasi itu dilakukan di daerah. Tetapi setelah investasi itu terjadi, apa dampak yang dirasakan oleh daerah? Setidaknya cuma penciptaan lapangan pekerjaan, dan pajak daerah yang enggak seberapa besarnya,” pungkas Esther.
Andhika Dinata, Arief Koes Hernawan (DIY) dan Restu Nugraha Sauqi (Jabar)