Pekanbaru, Gatra.com - Persoalan yang mendera Koperasi Petani Sawit Makmur (KOPSA-M) di Desa Pangkalan Baru Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar, Riau, ternyata ikut menarik perhatian akademisi Universitas Islam Riau (UIR), DR.M.Nurul Huda, SH.,MH.
Sangking tertariknya, lelaki 33 tahun ini mengaku menghabiskan waktu hingga tengah malam menganalisa poin-poin penting persoalan antara KOPSA-M dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V Riau itu.
"Kebetulan saya mengajak tim saya yang punya sertifikat auditor kelapa sawit untuk mengutak-atik persoalan yang ada di KOPSA-M ini," cerita Nurul saat mengajak Gatra.com berbincang soal KOPSA-M tadi, kemarin.
Hasilnya kata Nurul, kuat dugaan ada penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh oknum-oknum di PTPN V pada proses kontrak, biaya pembangunan kebun, hingga pemeliharaan kebun pola Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) itu.
Nurul kemudian merunut persoalan itu dari urusan KOPSA-M dengan Bank Agro. Dalam dokumen yang ada, jelas-jelas disebutkan ada tiga tahapan akad kredit yang dilakukan.
Tahap pertama Rp13,2 miliar untuk pembangunan kebun pada lahan 400 hektar. Lalu tahap kedua Rp23,12 miliar untuk 1.150 hektar dan tahap ketiga Rp16,5 miliar untuk 500 hektar.
Ini berarti, ada seluas 2.050 hektar kebun yang dibangun atas perjanjian akad kredit itu dengan total pinjaman Rp52,9 miliar.
"Kalau KOPSA-M yang mengikat akad, berarti keperluan akad itu untuk KOPSA-M, bukan untuk pihak lain. Lantaran PTPN V sebagai bapak angkat, wajar perusahaan ini jadi avalis," kata lelaki kelahiran Rokan Hilir (Rohil), Riau, ini.
Dengan duit sebanyak tadi, semestinya kata Nurul, kebun yang dibangun akan cantik dan memenuhi standar. Sebab, lantaran perusahaan sekelas PTPN V yang mengerjakan, pasti sudah ada Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dengan standar pembiayaan yang jelas.
Baca juga: Cerita 'Lenyapnya' 400 Hektar Kebun Sawit KOPSA-M
"Perusahaan ini kan perusahaan sawit besar, BUMN pula. Pasti sudah sangat pengalaman. Kalau kemudian kondisi kebun itu hancur-hancuran, berarti ada yang tak beres. Inilah makanya saya bilang ada dugaan penggelapan pada penggunaan duit pembangunan kebun itu," ujar Nurul.
Lalu lanjut Nurul, pada saat akan take over dari Bank Agro ke Bank Mandiri, hutang KOPSA-M menjadi Rp79,3 miliar. "Jumlah ini dari mana datangnya? Kalaulah misalnya bengkaknya jumlah hutang itu bersumber dari tunggakan pembayaran cicilan dan bunga hutang, kok bisa sebesar itu?," Nurul bertanya.
Kalaupun terjadi tunggakan pembayaran cicilan dan bunga hutang, tentu musti dicari penyebabnya. Jika lantaran kebunnya tak berproduksi, ini kesalahan siapa, apa kesalahan petani? Enggak bisa begitulah," tegasnya.
Sebab yang bertanggungjawab atas tidak atau kurang berporduksinya kebun itu kata Nurul, bukan petani, tapi si pembangun kebun. "Ini kok dibebankan kepada petani pula," rutuknya.
Berikutnya kata Nurul, setelah urusan kredit berhubungan dengan Bank Mandiri, PTPN V menyatakan kalau lahan tahap pertama bukan milik KOMPSA-M.
"Ini menjadi aneh. Di satu sisi, kredit dengan Bank Mandiri disebut hanya untuk pembiayaan lahan tahap dua dan tiga. Tapi nilai hutang yang dibayarkan adalah hutang pembangunan lahan tahap satu, dua dan tiga. Kenapa saya bilang begitu, lantaran pinjaman dari Bank Mandiri yang Rp83 miliar tadi, dipakai untuk membayar hutang pembangunan kebun yang tiga tahap di Bank Agro, yang nilainya Rp79,3 miliar itu. Celakanya lagi, sisa pembayaran hutang ke Bank Agro, dibilang PTPNV pula untuk pembiayaan kebun, makin aneh ini," katanya.
Semestinya kata Nurul, hutang KOPSA-M tidak perlu ditake over. Sebab itu tadi, asumsinya, kalau hutang sudah sebanyak itu, kebun sudah cantik dan produksinya sesuai standar. "Tapi lantaran ada apa-apanya, begitulah jadinya," ujar Nurul.
Kalau saja pembangunan kebun tadi dilakukan dengan benar kata Nurul, dari mulai produksi sampai sekarang, KOPSA-M sudah mengantongi untung bersih Rp194,7 miliar.
Perhitungannya begini; sesuai tahun tanam, anggaplah hasil perhektar kebun itu satu ton dengan harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit, Rp1.100 perkilogram.
"Dengan untung sebanyak itu, semestinya hutang KOPSA-M sudah lunas. Tapi yang terjadi itu tadi, kebun berantakan, petani tak dapat duit, hutang menumpuk," katanya.
Jadi kata Nurul, biar persoalan ini terang benderang, hutang di Bank Agro tadi musti diaudit ulang oleh tim independen. Semua pihak terkait musti terlibat, termasuk tim independen yang mengawasi BUMN.
"Itupun kalau ada tim independennya. Sembari begitu, KOPSA-M segera membawa persoalan ini ke ranah hukum pidana dan perdata. Hukum pidana ya terkait dugaan penipuan, penggelapan tadi. Lalu urusan perdata, terkait kontrak," rinci Nurul.
Khusus soal pidana kata Nurul, masalah ini tidak hanya masuk pada pidana umum, tapi juga tindak pidana korupsi (tipikor).
"Soalnya ada duit PTPN V yang dipakai untuk menutupi kekurangan pembayaran kredit oleh kesalahan pembangunan dan pemeliharaan kebun kelapa sawit itu," ujarnya.
Satu hal yang paling ditekankan oleh Nurul, ada baiknya persoalan ini tidak digiring kemana-mana, termasuk soal siapa sekarang yang menjadi anggota koperasi itu.
"Mau hantu pun sekarang yang menjadi anggota koperasi itu, dialah yang menanggung persoalan dan hutang yang ada saat ini. Jadi enggak ada kaitannya, jangan dikaburkan persoalan, apalagi sampai digiring ke ranah tempatan atau tidak tempatan," tegasnya.
Terus soal dibilang tanaman mati gara-gara banjir, itu enggak jadi alasan lantaran sebelum membangun kebun, studi kelayakan dan disain kebun pasti sudah dilakukan. "Hasilnya, lahan KOPSA-M itu layak. Kalau enggak layak, ngapain dikerjakan," katanya.
Hingga berita ini dipublish, Eksekutif Vice President Plasma PTPN V, Arief Subhan, belum merespon pertanyaan yang dikirim Gatra.com melalui whatsapp, kemarin.
Namun sebelumnya, kepada Gatra.com, Kepala Komunikasi Perusahaan dan PKBL PTPN V, Risky Atriyansyah mengatakan kalau terkait kebun KKPA KOPSA-M, terbagi berdasarkan tahun pembangunan;
Pembangunan tahap I dilakukan pada tahun 2001/2002, tahap II 2003/2004, dan tahap III tahun 2005/2006.
Areal Kopsa M sendiri kata Risky masuk dalam kategori pembangunan tahap II dan tahap III, dan tidak benar apabila KOPSA-M memiliki areal pembangunan tahap I seluas 400 Ha.
Kalaupun ada beberapa blok areal KOPSA-M yang rusak, itu lantaran kondisi alam seperti banjir yang berulang yang merendam areal cukup lama, kebakaran, hingga akhirnya mematikan bibit yang telah ditanam di areal.
PTPN V tidak mau berpangku tangan atas kejadian itu. Tapi malah sudah berulang kali melakukan penyisipan tanaman.
PTPN V kemudian terkendala melakukan pekerjaan lantaran sejak 2014, KOPSA-M telah melakukan Kerjasama Operasional (KSO) dengan pihak lain.
Pengurus KOPSA-M juga menolak pengelolaan kebun secara Single Manajemen (manajemen satu pintu) oleh PTPN V sehingga areal tidak terpelihara dengan baik sesuai dengan kultur teknis tanaman.
Walau demikian, pada perkembangannya, PTPN V mengajak KOPSA-M untuk melakukan perbaikan areal yang bermasalah namun program perbaikan tersebut tidak disetujui oleh Pengurus KOPSA-M.
Selanjutnya, sebagai avalis, sebagaimana tertuang didalam perjanjian, adalah Kewajiban PTPN V mengeluarkan dana talangan.
Artinya PTPN V mempunyai tanggung jawab untuk menutupi pembayaran cicilan hutang KOPSA-M yang kurang ke Bank Mandiri.
Sementara itikad baik KOPSA-M belum kelihatan untuk melakukan pembayaran cicilan hutang ke Bank Mandiri meski pendapatan KOPSA-M sudah mencapai Rp1,8 milyar perbulan.
Abdul Aziz