Batam, Gatra.com - Ratusan masa Buruh dari Sarikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kepri, kembali menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), di depan kantor Graha Kepri, Kota Batam, Kamis (22/10).
Dalam aksi tersebut, terlihat aparat keamanan bersiaga untuk mengawal aksi demonstrasi agar berjalan aman, terkendali dan kondusif. Para buruh yang sengaja datang menggelar aksi ini tidak hanya untuk menyampaikan aspirasi pada Gubernur Kepri terkait UU Omnibus Law. Kegiatan ini juga sengaja digelar untuk mengoreksi setahun Pemerintahan Presiden Jokowi-Amin.
Ketua SPSI Kepri Saipul Badri mengatakan, dalam aksi ini pihaknya menuntut Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan segera Perpu pembatalan undang-undang Omnibus Law.
Untuk Pemerintah Daerah atau pimpinan DPRD setempat hendaknya dengan segera melayangkan surat keberatan kepada Pemerintah Pusat atas UU Omnibus Law.
"Ada lima alasan yang kami tuliskan dalam tuntutan kami itu, jadi konsen ke sana saja. Kegiatan ini juga sengaja kami lakukan karena bertepatan dengan 1 tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin," katanya.
Menurutnya, undang-undang ini sangat meliberalisasi sistem perburuhan di Indonesia, sangat kapitalistik. Undang-undang ini tidak berorientasi kepada nilai-nilai yang ada di Pancasila. Ditambah beberapa pasal yang dinilai dapat menimbulkan multi tafsir.
"Rencana undang-undang ini terkesan dibuat terburu-buru dan harus disahkan secepat mungkin. Sehingga akhirnya berdampak kepada aksi akhir-kahir ini, karena waktu pembuatan undang-undangnya tidak mencukupi yang memicu kegaduhan," ujarnya.
Buruh, kata Saipul, pada prinsipnya sebenarnya sangat mendukung apa yang dilakukan pemerintah, kalau itu untuk menyegarkan iklim investasi, tapi harus dengan kajian. Karena menurutnya undang-undang yang lama pun, tidak bisa dilaksanakan dengan baik hingga muncul UU baru ini.
"Apalagi ada beberapa pasal yang sangat krusial, seperti masalah pesangon, masalah kontrak dan masalah TKA. Dan ini keluar dari undang-undang, bahasa-bahasa atau narasi-narasi yang bias," ujarnya.
Lebih lanjut Saipul menerangkan, UU tidak boleh seperi itu. Sebuah undang-undang harus memberikan pelayanan dan jaminan kepastian hukum dan bisa menciptakan rasa adil.
"Menurut kami ini tidak adil, dalam prosesnya saja tidak adil. Satgas Omnibus Law, ini dipenuhi oleh para pemodal di dalamnya dan tidak melibatkan serikat pekerja. Kuat dugaan pasti ada keberpihakan di dalam pasal-pasalnya, ini yang kami sesalkan. Kami ini sebenarnya curiga, jangan-jangan ada sponsor dari luar yang membiayai pembuatan undang-undang ini," akunya.
Saipul beranggapan, selain banyak ketidakadilan didalam draf UU tersebut. Satgas Omnibus Law yang dibentuk ini dipenuhi oleh para pemodal di dalamnya dan tidak melibatkan serikat pekerja. Ditambah, sikap legislator yang terlibat pengesahan UU Omnibul Law itu terkesan plin plan, yang awalnya banyak menolak dan pada akhirnya mayoritas fraksi di DPR banyak mendukung.
"Kita tidak bisa membandingkan atau memgambil contoh dari negara-negara liberal untuk UU seperti ini, karena kita punya petokan dan dasar negara yaitu Pancasila. Kalau kita tidak mengikuti itu, bisa hancur. Kecuali kita tidak punya dasar negara, Pancasila itu yang nilai-nilainya selalu diajarkan kepada kita sejak usia dini," tegasnya.