Jakarta, Gatra.com- Kasus Jiwasraya masih terus bergulir. Meski beberapa terdakwa sudah dihukum seumur hidup, tetapi hal itu belum bisa menggantikan kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi tersebut.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih mengatakan, uang hasil korupsi pasti sudah dinvestasikan dalam bentuk barang dan aset. Hal ini menyulitkan lembaga penegak hukum karena belum ada payung hukum seperti Undang-Undang Perampasan Aset yang mengaturnya.
“Pengembalian menggunakan TPPU [Tindak Pidana Pencucian Uang] itu sangat penting karena investasi bisa dilihat. Negara melalui BUMN harus memikirkan, kalau terjadi begini bagaimana kebijakannya. Kalau ada masalah siapa yang mau menanggungnya. Lembaga apa yang mengontrolnya,” tuturnya dalam Konferensi Pers “Vonis Maksimal Tersangka Jiwasraya” yang diadakan Ruang Anak Muda, Kamis (22/10/2020).
Menurutnya, beberapa tahun sebelumnya pernah ada gagasan RUU Perampasan Aset. Namun, hingga saat ini belum terdengar kabarnya lagi. Padahal, penyitaan seharusnya tidak hanya fokus pada orangnya, tetapi juga terhadap aset dan barang.
Menanggapi ini, Anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu mendukung usulan tersebut. Ia berujar, persoalan asset recovery sangat penting. Terutama bagaimana negara mengejar aset koruptor yang telah merugikan negara, sehingga bisa kembali kepada nasabah.
“Kita harus memformulasikan seluruh penegakan hukum kita, khususnya kasus korupsi. Secara prosedural, dari mulai tindakan preventif, represif. Kemudian, dalam aspek aspiratifnya. Secara akademik, RUU Perampasan Aset sangat menarik. Terpikir, mengajukan RUU Perampasan Aset. Menurut saya perlu dan penting untuk kita gagas bersama,” ujarnya.
Hal ini menjadi krusial untuk mencegah beberapa kemungkinan yang tidak diinginkan seperti koruptor yang meninggal. Selain itu, agar aparatur penegakan hukum tidak kesulitan melakukan pelacakan perampasan aset.