Jakarta, Gatra.com - Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya menyatakan kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif cukai rokok tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini dan prevalensi stunting. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PPKE Universitas Brawijaya, faktor utama penyebab perokok usia dini yakni lingkungan sekitar, keingintahuan, pengendali stress, serta tingkat pendidikan orang tua yang rendah.
"Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orang tua khususnya ayah yang rendah serta adanya anggota keluarga yang merokok," kata Peneliti PPKE Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah dalam diskusi virtual, Kamis (22/10).
Dalam penelitian ini didapatkan data, 47% perokok usia dini berada dalam keluarga yang memiliki pendapatan lebih dari Rp2.000.000 per bulan. Bila merujuk pada kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), angka pendapatan ini termasuk dalam kategori no miskin, lantaran garis kemiskikanan rata-rata secara nasional sebesar Rp1.990.170 per rumah tangga per bulan.
"Jumlah rokok yang dikonsumsi oleh perokok usia dini menunjukkan bahwa 28% perokok usia dini mengkonsumsi rokok sebanyak satu hingga dua batang per hari, 27% mengkonsumsi lima hingga enam batang per hari, dan 18% mengkonsumsi tiga hingga empat batang per hari," jelasnya.
Peneliti PPKE Universitas Brawijaya lainnya, Joko Budi Santoso menyebut, Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki peran penting dalam menyumbang penerimaan negara melalui cukai. Bahkan, selama lima tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai tembakau mencapai Rp150 triliun per tahun. Selain itu, IHT juga merupakan sebuah industri padat karya yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi dan distribusinya.
"Meski demikian, keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan yang luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara. Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok," ujar Joko.
Ia menambahkan, berdasarkan data yang dihimpunnya, volume produksi IHT pada periode 2016-2018 mengalami penurunan sebesar 4,59%. Bahkan, jumlah pabrik rokok menurun drastis dari semula sebanyak 4.793 perusahaan pada 2007 menjadi 487 perusahaan di tahun 2017 atau hanya tinggal 10% saja.
"Di tengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi perokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3% pada 2013 menjadi 28,8% pada 2018. Akan tetapi, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini," jelasnya.
Menurutnya, hal ini menjadi indikasi awal kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan. Fenomena ini menjadi salah satu alasan perlunya kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia.