Padang, Gatra.com- Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari menegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak layak menguji Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Independensi MK pun sangat diragukan karena dinilai telah menerima "sogok" dari presiden dan DPR RI.
Dengan begitu, kata Feri, peluang MK mengabulkan uji materi sangat tipis. Apalagi pembentukan UU Cipta Kerja tersebut sarat kepentingan elit politik. Akibat terkontaminasi kepentingan politik itu, hakim-hakim di MK sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh publik menguji UU kontroversial tersebut.
"Hakim-hakim di MK sudah diberi 'umpan' dengan perpanjangan masa jabatan. Jadi independensi MK sangat diragukan. Kalau sudah menerima "hadiah", tidak akan mungkin bisa berlaku adil," kata Feri kepada Gatra.com saat dihubungi, Rabu (21/10).
Padahal, menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand Padang itu, tidak etis hakim konstitusi menerima "hadiah" dari pemerintah dan DPR yang tengah diperkarakan. Alasannya, "hadiah" yang diterima MK itu justru bisa menjadi racun yang akan membunuh fungsinya sebagai lembaga konstitusi negara.
Sebelumnya, kata Feri, Presiden Jokowi secara tidak langsung pernah meminta dukungan MK dalam pembentukan UU Omnibus Law. Anjuran Jokowi agar pihak yang menolak mengajukan uji materi ke MK, hanyalah alat legitimasi dari kealpaan menjadi terlihat benar ketika pengujian UU Cipta Kerja diputuskan MK.
"Bagaimana kita mau percaya kinerja MK, sebab MK saja sudah "kenyang" lebih dulu. Jadi publik juga akan tersendera dengan berbagai kepentingan MK dan pemerintah itu sendiri. Bisa dipastikan MK tidak akan berlaku adil," ujarnya.
Selain itu, Jokowi dinilai sangat masif menguasai DPR, KPK, dan MK agar UU Omnibus Law berjalan mulus. Apalagi, ada 3 orang hakim konstitusi dipilih presiden, 3 hakim konstitusi dipilih DPR, dan 3 hakim konstitusi dipilih MA, sehingga dari segi jumlah tidak akan mungkin menang 3 hakim melawan 6 hakim.
Terkait apakah Komisi Yudisial (KY) akan lebih sulit mengawasi MK ke depannya, Feri belum mau berpikir terlalu jauh. Namun yang jelas, MK selaku penafsir tunggal sudah tidak layak menguji UU Omnibus Law. Sebab MK sudah terkontaminasi dengan segala kepentingan pihak-pihak istana, DPR, dan banyak pihak lainnya.
"Putusan MK memang tak harus jadi UU, tapi UU wajib sesuai putusan tersebut. Kita terus mendesakan sejumlah pihak agar Jokowi mengeluarkan Perppu sebagai bentuk tanggungjawabnya terhadap UU tersebut," tukasnya.