Home Hukum Revisi UU Kejaksaan, Hasbullah: Pemidanaan Tidak Efektif

Revisi UU Kejaksaan, Hasbullah: Pemidanaan Tidak Efektif

Jakarta, Gatra.com - Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta yang juga praktisi hukum, Hasbullah, berpendapat bahwa revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 harus segera diwujudkan, di ataranya demi mengatur soal restorative justice.

"Menurut saya, ini harus segera dilakukan perubahan terhadap UU Kejaksaan dan diberikan kewenangan untuk dimasukkan keadilan restorative justice melalui mediasi penal [penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan]," katanya dalam webbinar bertajuk "RUU Kejaksaan Tonggak Restorative Justice di Indonesia" pada Rabu (21/10).

Dalam diskusi gelaran Aliansi Publik Indonesia (API) ini, Hasbullah melanjutkan, mediasi penal yang sudah ada dalam draft revisi UU Kejaksaan sangat penting untuk mewujudkan restorative justice.

"Sangat dibutuhkan, mengingat ada satu yang sampai hari ini belum bisa diaplikasikan, salah satunya amanat konstitusi di dalam Pasal 18 yaitu mengenai negara mengakui masyarakat hukum adat," ujarnya.

Menurut Hasbullah, dalam draf RUU Kejaksaan ini sudah terdapat tentang restorative justice. Kemudian, walaupun restorative justice ini tersebar dalam keputusan lembaga penegak hukum, misalnya Peraturan Kapolri (Perkap) dan Peraturan Jaksa Agung (Perja), namun posisinya tidak kuat karena tidak diatur dalam perundang-undangan.

"Ada Perkap 2019, ada Perja mengenai restorative justice, tapi kalau secara hukum pidana, suatu aturan hukum pidana baik materil dan fomil, dia harus diwujudkan dalam suatu UU," ujarnya.

Dengan demikian, lanjut Hasbullah, ketika itu diwujudkan dalam suatu perundang-undangan, maka restorative justice ini menjadi sangat kuat. "Ketika itu diwujudkan dalam peraturan-peraturan kepala instansi, maka posisi kekuatan hukumnya sangat lemah karena UU-nya tidak memberikan kewenangan untuk itu," ujarnya.

Hasbullah lebih jauh mengungkapkan alasan urgensi UU Kejaksaan direvisi dan mengatur tentang restorative justice. Menurutnya, pendekatan restorativ justice harus dilakukan karena pemindaaan yang saat lebih berorietasi pada retributif dan rehabilitatif tidak efektif.

"Restorative justice ini dikenal dan mulai diterapkan dalam rangka untuk mewujudkan pidana karena sejak 1946 sampai dengan hari ini, orientasi penegakan hukum pidana di Indonesia tujuannya mengarah ke pemidanaan retributif, tindak pidana ujungnya melalui proses penghukuman melalui proses pengadilan," ujarnya.

Penerapan penghukuman penjara ini tidak efektif menjerakan pelaku kejahatan atau masyarakat. Ini tercermin dari jumlah perkara di Mahakamah Agung (MA) yang terus meningkat setiap tahunnya. "Hampir setiap tahunnya bertambah lebih dari 1.000 kasus pidana," ungkapnya.

Ditelisik lebih jauh, perkara-perkara tersebut tidak semuanya merupakan tindak pidana kategori berat. Banyak sekali tindak pidana yang sebetulnya bisa diselesaikan melalui proses antara para pihak. Ini terjadi karena perundang-undangan belum mengedepankan restorative justice sehingga perkara harus selalu berakhir di pengadilan.

"Karena sistem hukum kita, KUHP, KUHAP, UU Kejaksaan, UU Kepolisian, belum dibekali proses mediasi penal yang di dalamnya merupakan perwujudan restorative justice. Secara hukum, mau tidak mau proses pemidanaan terhadap pelaku pidana harus diselesaikan melalui peradilan, kecuali dalam delik-delik tetentu yang masuk kategori aduan," ujarnya.

Hasbullah mencontohkan suatu perkara yang disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hiklmahanto Juana, yang kerugiannya kurang dari Rp20.000. "Tapi masuk unsur 362, [sehingga] mau enggak mau harus dilakukan peradilan karena 362 masuk dalam delik aduan yang harus diselesaikan dan diputus melalui proses pengadilan. Itu sistem hukum pidana kita," ujarnya.

370