Jakarta, Gatra.com - Kasus pelanggaran hak cipta yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan PT Telkom Indonesia (Telkom) atas film “Sejauh Kumelangkah” karya Ucu Agustin masih berjalan.
Kemendikbud diketahui telah memenuhi satu tuntutan yakni meminta maaf secara publik atas penayangan film tanpa izin di TVRI dalam program “Belajar dari Rumah” (BDR). Namun permintaan maaf tersebut tanpa menyebut telah juga mengubah isi dan bentuk—hingga pesan karya banyak yang hilang—tanpa sepengetahuan pembuat dan pemilik film.
Selain itu, film tersebut juga ditayangkan ulang di UseeTV, sebuah platform penyiaran daring komersil milik Telkom. Atas kasus pelanggaran hak cipta tersebut, sekelompok pekerja seni Indonesia dari berbagai disiplin ilmu dan tradisi berkesenian memutuskan untuk menggalang dukungan untuk memberikan kekuatan moral dan material kepada Ucu Agustin.
Terhitung sebanyak 220 pekerja seni dari 35 kota di Indonesia dan belasan kota di dunia menyatakan dukungan supaya kasus tersebut bisa diselesaikan sesuai tuntutan dari pihak Ucu yang disampaikan melalui kuasa hukumnya.
Para penandatangan surat dukungan berasal dari berbagai disiplin ilmu dan tradisi berkesenian berbeda. Di antaranya Joko Anwar, Dwimas Angga Sasongko, Sammaria Sari Simajuntak (sutradara film), Nia Dinata dan Muhammad Zaidy (produser film), Cholil Mahmud dan Bonita (musisi), FX Harsono (seni rupa), Gratiagusti Chananya Rompas (penyair), Intan Paramaditha (penulis), Alia Swastika (kurator seni), Dandhy Dwi Laksono (videographer), Shalahuddin Siregar (pembuat film dokumenter), dan sebagainya.
Dukungan juga mengalir dari para pelaku profesi di dunia film dan kesenian seperti sinematografer, sound designer, make up artist, visual effect artist, peneliti, pengelola ruang kesenian, pengelola festival dan lain-lain.
Sineas Joko Anwar termasuk yang terdepan memberikan dukungan kepada koleganya, Ucu Agustin. “Output dari industri kreatif adalah karya dan hak cipta melekat dari tiap karya tersebut. Tidak menghargai hak cipta berarti mensabotase keberadaan dan kemajuan industri kreatif. Jika ini dilakukan pemerintah, ini bukan saja ironis. Ini menyedihkan,” ujar Joko dalam keterangan resminya.
Sementara itu produser Nia Dinata menyatakan setiap karya memiliki hak cipta dan melekat padanya. “Kasus Ucu adalah pelajaran publik karena setiap orang yang berkarya harusnya menyadari hal itu, sehingga ketika ada yang meminjam, menyewa, membeli karya tersebut, sudah seharusnya menjalankan kedisiplinan yang dituangkan dalam persetujuan bersama berupa kontrak atau perjanjian,” kata Nia.
Ungkapan prihatin juga disampaikan penulis Intan Paramaditha. Ia menilai dari isu pengambilan keputusan hingga pengelolaan anggaran, transfaransi masih menjadi persoalan besar institusi negara. Kasus Ucu Agustin menurutnya salah satu contoh dilanggarnya hak pekerja seni untuk mendapatkan pengakuan layak atas kerja yang telah ia lakukan. Kedua, hak memeroleh informasi yang jelas tentang bagaimana karya tersebut akan diedarkan.
“Dalam membayangkan pelayanan dan pendidikan publik, institusi negara belum melihat pekerja seni sebagai rekan berdialog dengan hak-hak yang patut dihargai,” ujar dosen kajian media Macquarie University, Sydney, Australia itu.
Kondisi yang dialami Ucu, menurut vokalis Bonita, merupakan gambaran ketidakbecusan pemerintah menjalankan tugasnya. “Semoga keberanian dan kekuatan Ucu bersama tim kuasanya dan kolega yang mendukung menjadi contoh baik untuk banyak orang yang membutuhkannya.”
Dukungan yang diberikan oleh 220 orang pekerja seni menujukkan keprihatinan yang luas terhadap rendahnya budaya mengakui hak kekayaan intelektual, dan lemahnya prosedur dari lembaga negara untuk menjamin hak kekayaan intelektual terpenuhi dengan baik. “Untuk itu, dukungan ini diperlukan guna memberi tekanan lebih kuat kepada lembaga negara untuk turut serta secara aktif dalam menghargai dan melindungi hak kekayaan intelektual yang melekat dalam satu karya,” pungkasnya.