Home Internasional Embargo Diangkat, Belanja Belum Dekat

Embargo Diangkat, Belanja Belum Dekat

Amerika Serikat berang embargo senjata Iran tidak diperpanjang. Berpeluang mengubah perimbangan kekuatan militer kawasan. Iran prioritaskan memasok senjata ke negara lain.


Ahad pekan lalu menjadi momen yang sangat penting bagi Republik Islam Iran. Setelah 13 tahun, embargo senjata yang diterapkan Dewan Keamanaan PBB sejak 2007 berakhir.

Menyambut peristiwa penting ini, tidak ada pawai atau perayaan gegap gempita di Teheran. Hanya pernyataan resmi yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Iran pada hari itu. Dalam pernyataannya , Kemenlu Iran menegaskan mulai tanggal tersebut Iran dapat kembali memasok segala jenis persenjataan, dan peralatan militer yang dibutuhkan dari semua sumber tanpa pembatasan hukum, dan hanya berdasarkan keperluan pertahanannya. Iran sesuai dengan kebijakannya, mulai sekarang juga bisa mengekspor senjata.

Amerika Serikat terusik dengan situasi itu. Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, memperingatkan dunia bahwa pihaknya akan memberikan sanksi pada individu atau entitas mana pun yang membantu program senjata Iran.“Selama 10 tahun terakhir, negara-negara menahan diri untuk tidak menjual senjata ke Iran di bawah berbagai tindakan PBB. Setiap negara yang sekarang menentang larangan ini akan dengan sangat jelas memilih untuk memicu konflik dan ketegangan daripada mempromosikan perdamaian dan keamanan," kata Pompeo dalam pernyataannya seperti dikutip CNBC.

"Setiap negara yang menjual senjata ke Iran akan memiskinkan rakyat Iran karena memungkinkan pengalihan dana rezim dari kebutuhan rakyat menjadi tujuan militer rezim," Ia menambahkan.

Sejak awal, Washington menginginkan perpanjangan embargo senjata Iran. Menjelang pencabutan embargo, AS mendorong PBB untuk mempepanjang sanksi ini. Namun, Dewan Keamanan PBB pada Agustus menolak mendukung upaya AS. Cina dan Rusia menentang upaya AS itu, sementara sekutu dekat Negeri Uwak Sam seperti Inggris, Prancis, dan Jerman abstain. Hanya AS dan Republik Dominika yang memilih perpanjangan.

Pengamat Timur Tengah Universitas Indonesia, M. Syauqillah, menilai berakhirnya embargo PBB terhadap Iran akan membuat Amerika Serikat geram, karena hal itu beririsan dengan politik luar negeri AS di Timur Tengah. "Ini tidak semata-mata soal berhentinya embargo, tetapi ada hal yang lain yang bisa kita lihat sebagai kelanjutan konflik sebelumnya, seperti pada konflik di Suriah," kata Syauqilla kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra pada Selasa, 20 Oktober lalu.

Soal ancaman Pompei untuk memberikan sanksi pada siapa pun yang berkontribusi memasok, menjual, atau mengirim senjata konvensional dari atau ke Iran, Syauqillah menyebut Amerika Serikat sudah beberapa kali melakukan hal semacam itu tanpa restu dari PBB, termasuk yang mereka lakukan pada Irak tahun 2003 silam.

"Jika melihat kebijakan AS di Timur Tengah mungkin saja terkait dengan negara kliennya: Israel, Arab Saudi, Turki, dan beberapa negara lainnya yang merupakan sekutu dari AS," kata Syauqillah. Amerika Serikat merasa perlu untuk mengamankan negara-negara di kawasan Teluk yang menjadi pemasok minyak dunia.

***

Iran pernah memilik senjata-senjata canggih pada jamannya. Pada era monarki dibawah kekuasaan Syah Reza Pahlevi dekade 1960 -1970, Amerika Serikat dan Inggris memasok senjata-senjata tercanggih di era itu.

Sejak Syah Reza Pahlevi diturunkan lewat Revolusi Iran Februari 1979, hubungan mesra Iran dengan negara-negara Barat memburuk dengan cepat. Situasi politik itu memicu embargo senjata informal, membuat Iran sulit meremajakan peralatan militernya. Perang Iran-Irak (1980–1988) yang brutal menghabiskan hampir seluruh sistem senjata Iran. Situasi semakin memburuk sejak  2007, PBB memberlakukan embargo senjata resmi, di tengah meningkatnya ketegangan atas program nuklir Iran.

Pada 2015, Iran menandatangani kesepakatan dengan enam kekuatan dunia yang dikenal dengan nama Rencana Aksi Kompeherensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action —JCPOA). Lewat perjanjian ini, Iran bersedia mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional —dan embargo senjata pada 2020. Kesepakatan ini ditandatangani Iran dan dengan Cina, Prancis, Jerman, Uni Eropa, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Secara teoretis, Iran sudah bisa membeli dan menjual senjata ke dan dari siapa pun yang dipilihnya secara sah. Rusia telah mengisyaratkan bahwa mereka ingin berbisnis. Kabarnya Iran tertarik dan Rusia bersedia memasok sistem pertahanan rudal S-400. Teheran juga berusaha untuk menandatangani kesepakatan untuk mendapatkan tank tempur, jet tempur, rudal permukaan-ke-udara, dan sistem rudal anti-radar , sehingga menempatkan pasukan AS dan sekutunya di risiko yang lebih besar di Timur Tengah. Cina juga sangat ingin menjual senjatanya, yang cenderung lebih murah.

Namun pembelian senjata secara besar-besaran mungkin belum terwujud dalam waktu dekat. Rusia dan China sama-sama ingin menjaga relasi baik dengan negara-negara Arab yang lebih kaya raya. Belanja militer Iran tahun lalu sekitar US$12.6 miliar, sementara Arab Saudi belanja lima kali lipat lebih besar.

Sementara itu, sanksi embargo ekonomi yang diterapkan Ameriksa Serikat benar-benar mencekik ekonomi Iran. Akibatnya, nilai mata uang Iran jatuh ke titik terendah yang membuat impor senjata menjadi sangat mahal.

Departemen Keuangan Amerika Serikat juga terus menghantui pihak-pihak yang ingin berbisnis dengan Iran, membuat banyak negara khawatir mengambil risiko.

Di sisi lain, Iran juga berjuang membangun industri pertahanannya sendiri. Dan strategi militer Iran tidak bergantung pada senjata-senjata tradisional tapi kombinasi milis balistik sebagai daya gertak dan meluaskan jaringan milisi yang didukungnya mulai dari Hizbullah di Lebanon dan Syria, hingga Houthi di Yaman. Korps Garda Revolusi Islam Iran yang mengontrol misil dan milisia itu secara politis dan militer lebih kuat dari angkatan bersenjata reguler.

***

Alih-alih belanja besar, Iran malah memprioritaskan untuk lebih aktif memasok senjata ke negara lain. "Sebelum menjadi pembeli di pasar senjata, Iran memiliki kemampuan untuk memasok negara lain," kata juru bicara Kemlu Iran, Saeed Khatibdzadeh, dikutip dari AFP, Senin, 19 Oktober lalu.

Saeed menyebut program penjualan senjata Iran bertujuan menjaga perdamaian dan melindungi kepentingan domestik. "Tentu saja, Iran tidak seperti Amerika Serikat yang presidennya berusaha menjual senjata mematikan untuk membantai rakyat Yaman," ujarnya.

Pernyataan itu menyindir langkah AS memasok senjata ke Arab Saudi yang memimpin koalisi militer di Yaman memerangi pemberontak Houthi. Saeed menegaskan Iran akan bertanggung jawab dalam penjualan senjata ke negara lain berdasarkan perhitungannya sendiri.

Menteri Pertahanan Iran, Brigadir Jenderal Amir Hatami, mengatakan rencana ekspor senjata menjadi penegasan bahwa Iran memiliki kemandirian dan kemampuan menciptakan alat pertahanan dalam negeri yang berkualitas. "Perang Iran-Irak mengajarkan kami pentingnya kemandirian dan memproduksi 90% kebutuhan pertahanan kita secara lokal," ujarnya.

Rosyid