Karanganyar, Gatra.com - Diah Retno Septiani mengulang ucapannya saat melakukan sambungan video call ke Firdaus Alam, salah satu siswa kelas XI SLB B Pawestri Karanganyar, Jawa Tengah. Guru kelas inklusi ini beberapa kali berpindah posisi, dengan harapan mendapat sinyal stabil sehingga bisa berkomunikasi lancar dengan remaja berkebutuhan khusus itu.
Alam, demikian nama panggilan siswanya itu, memahami percakapan bukan dengan suara. Melainkan gerakan bibir lawan bicaranya. Selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan guru, kebutuhan sinyal berkualitas merupakan hal urgen. Gerakan bibir dan ekspresi yang ditampilkan di layar ponsel menggantikan pembelajaran tatap muka yang biasanya mengakrabinya selama bersekolah.
"Kesulitannya pada sinyal. Jika seret sinyalnya, ada delay yang menyebabkan terpotongnya gerakan bibir. Saya harus mengulang-ulang supaya pesannya sampai ke siswa," kata Diah kepada wartawan di sekolahnya, Senin (19/10).
Diah menelepon Alam untuk mengetahui kabarnya. Sekaligus menceritakan sekolahnya kedatangan tamu sejumlah pewarta media siber. Alam diajak mengenal media pemberitaan. Sangat disayangkan akibat sinyal putus-putus, Alam terlihat bingung. Akhirnya percakapan jarak jauh dengan remaja asal Tegalarum Karanganyar pun diakhiri.
"Selama pandemi, pembelajaran tidak boleh di sekolah. Namun kami terus memberi pembelajaran lewat WA. Ada dua murid di kelas saya pegang HP sendiri. Pembelajarannya dengan materi dari percakapan. Misalnya tadi memperkenalkan tamu dari wartawan. Lalu, kita minta anak-anak menceritakan sejarah pers," kata Diah.
Sekolah luar biasa ini mengajar peserta didik tuna rungu sebagian maupun total. Para pengajar menggunakan metode maternal reflektif (MMR) dan turunannya yang mengoptimalisasi sisa pendengaran. Bagi peserta didik di jenjang SMPLB maupun SMALB, metode tersebut lebih mudah disampaikan. Namun tidak semudah itu bagi TKLB dan SDLB.
Pengajar kelas I, Puji Harjanti terpaksa hanya sekali per pekan menyampaikan materi pembelajaran jarak jauh dengan konten video. Sebab, banyak hambatan dirasakan anak-anak usia dini berkebutuhan khusus. Terutama akibat reduksi kualitas gambar yang menghambat pemahaman gerak bibir.
"Orangtua mengeluhkan gambar kurang jelas. Kami memang mengandalkan peran orangtua dalam pembelajaran ini. Kemudian diganti selain daring juga luring. Juga home visit," katanya.
Kepala SLB B Pawestri, Putut Kus Darwanto mengatakan terdapat 58 peserta didik jenjang TK sampai SMA di sekolahnya. Sepanjang belum ada instruksi pembelajaran tatap muka dimulai, ia masih memberlakukan PJJ selama masa Pandemi Covid-19.
"Paling efektif memang pembelajaran dengan guru. Khususnya bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Tapi kondisinya seperti ini. Metode MMR dilaksanakan semaksimal mungkin meski dengan kendala sinyal," katanya.