Jakarta, Gatra com - Pakar Hukum sekaligus Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Junimart Girsang, mengapresiasi kritisnya publik terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu. Menurutnya, itu merupakan hal positif, karena publik harus memiliki peran dalam setiap perundangan yang dikeluarkan.
Namun, ia menyarankan agar dalam menyampaikan kritik dan masukan sebaiknya dilakukan dengan cara yang elegan. Jika memang ada persoalan dalam UU ini, sesungguhnya ada mekanisme yang jelas yang juga sudah diatur UU yaitu melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini adalah cara elegan dan demokratis. Silakan dipelajari, dikritisi, tapi jangan menghancurkan persatuan dan kebhinekaan yang kita miliki," kata Junimart, kepada wartawan, Sabtu (17/10).
Baca juga: Ada 12 Keanehan yang Ditemukan dalam Pembentukan UU Ciptaker
Menurut Junimart, pemerintah memiliki alasan yang jelas dan tegas mengenai urgensi kelahiran UU tersebut. Bahwa selama ini banyak produk UU yang tumpang tindih, sehingga sering menjadi penghambat bagi penguatan daya saing dan percepatan pembangunan ekonomi.
"Padahal dengan jumlah penduduk yang terus bertambah dan beban biaya hidup yang terus meningkat, penguatan ekonomi menjadi faktor penting untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana tujuan kita berbangsa dan bernegara," ujar Junimart.
Ketika UU Omnibus Law Cipta Kerja diundangkan, tentunya DPR dan pemerintah telah melakukan kajian dan pembahasan secara detail dan matang. Objektifnya tentu saja agar kehadiran UU ini dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk melakukan berbagai kebijakan terobosan yang memungkinan ekonomi kita bisa bergerak lebih cepat dan dalam koridor aturan yang jelas.
"Apalagi pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia telah mendorong seluruh negara di dunia melakukan berbagai akselerasi dan kebijakan," katanya.
Sementara itu, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, sebelumnya mengungkapkan, setidaknya ada 12 skandal yang ditemukan dalam kajian Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) pada pembentukan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Asfinawati menyebut hal tersebut skandal, karena banyak hal aneh yang ditemukan dalam pembentukan UU tersebut.
Baca Juga: Manifesto Akademisi: Omnibus Law Berpotensi Robohkan RI
Kejanggalan pertama yang disampaikan Asfinawati adalah naskah RUU yang disembunyikan saat pembahasan di pemerintah. Pada saat RUU tersebut dibuat, sejatinya banyak pihak yang kesulitan mencari naskah RUU, namun tak kunjung mendapatkan akses.
“Kemudian yang kedua, pada akhirnya kami tahu bahwa naskah itu disusun oleh Satgas Omnibus Law, isinya ada 127 orang pengusaha yang punya konflik kepentingan,” kata Asfinawati dalam diskusi daring bersama ILUNI UI, Sabtu (10/10).
Konflik kepentingan tersebut berdasarkan temuan yang dirilis Koalisi Bersihkan Indonesia. Ada sebuah konflik kepentingan yang melekat pada para pembuatan regulasi tersebut. Misalnya, royalti tambang itu bisa 0 persen. “Logika di balik pembangunan kan agar ada uang masuk ke negara. Kalau royaltinya 0%, lalu negara dapat apa. Buat apa ada pembangunan,” ujarnya.