Mataram, Gatra.com- Keputusan Bawaslu Dompu yang mengabulkan permohonan penggugat sebagai pasangan calon Saifurrahman Salman-Ika Risky Verfyani (SUKA) dalam sangketa Pilkada Kabupaten Dompu karena tingginya tekanan politik dibantah Bawaslu NTB.
Koordinator Devisi Hukum, Humas Data dan Informasi Bawaslu Provinsi NTB, Suhardi mengemukakan, putusan itu bukan karena desakan atau tekanan. Kasus Dompu Bawaslu RI langsung melakukan supervise. Karena itu tak beralasan disebut tidak memutus karena tekanan politik.
“Persinggungana KPU dan Bawaslu itu adalah soal akumulasi waktu bebas sebagai Narapidana. Hitungan menurut UU dan Bawaslu, orang itu dikatakan bebas sejak dia keluar dari penjara, dia keluar Lapas maka sejak itu dihitung dia sebagai mantan narapidana, meskipun masih punya hubungan administrasi. Dan keterangan saksi memperkuat hal itu juga,” kata Suhardi, Jumat (16/10).
Menurut mantan Komisioner KPU Lombok Barat ini, Bawaslu memiliki argumentasi hukum yang jelas terkait dengan keputusannya mengabulkan permohonan pasangan SUKA. KPU Dompu membuat penafsiran sendiri terhadap norma Undang-undang. Sementara mereka tidak punya kompetensi atau kewenangan untuk melakukan penafsiran atas norma hukum.
Suhardi mencontohkan, keputusan Bawaslu Dompu tersebut bukan satu-satunya kasus di Indonesia, tetapi banyak kasus yang sama di di daerah lain. Bawaslu juga mengambil keputusan mengabulkan permohonan pemohon.
“Kalau kita diskusi tidak akan selesai, tapi kita butuh kepastian hukum, dan kasus ini tidak satu-satunya di Indonesia. Ada enam keputusan yang sama, dan kalau keputusan Bawaslu Dompu berbeda, itu justru yang akan jadi aneh. Bahkan dua kasus yang sama di daerah lain, KPU-nya tidak menolak, tapi di-MS-kan,” ujarnya.
Seperti diketahui, eskalasi politik Pilkada Dompu seketika memanas saat KPU memutuskan dan menyatakan pasangan SUKA Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam Pilkada Dompu 2020. Para pendukung pasangan SUKA saat itu juga langsung bereaksi dengan melakukan aksi besar-besaran hingga nyaris anarkis.