Jakarta, Gatra.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan jaksa penyidik perkara Pinangki Sirna Malasari berinisial SA, WT, dan IP kepada Komisi Kejaksaan (Komjak) karena diduga melakukan pelanggaran kode etik saat menyidik perkara tersebut. Pelaporan ini dilakukan pukul 12.00 WIB hari ini dan diterima oleh Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, terdapat 4 poin dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para penyidik, yakni diduga tidak menggali kebenaran materiil berdasarkan keterangan dari Pinangki Sirna Malasari.
Menurutnya, pada tanggal 12 November 2019, diketahui terdapat pertemuan di kantor terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Joko Tjandra, yang dihadiri oleh Pinangki dan Rahmat.
Saat itu, berdasarkan pengakuan Pinangki, Joko Tjandra percaya begitu saja terhadap jaksa yang hanya mengemban jabatan sebagai kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung untuk dapat mengurus permohonan fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung.
“Dalam konteks ini, terlihat jelas bahwa penyidik tidak mendalami lebih lanjut keterangan Pinangki. Setidaknya ada beberapa kejanggalan yang terlihat dalam penyidikan atas nama tersangka Pinangki Sirna Malasari," ujar Kurnia dalam konferensi pers secara daring, Rabu (14/10).
Pertama, secara kasat mata, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap, seperti Joko Tjandra, yang telah melarikan diri selama sebelas tahun, bisa langsung begitu saja percaya dengan seorang jaksa yang tidak mengemban jabatan penting di Kejaksaan Agung untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung,” katanya.
Kurnia menjelaskan bahwa permohonan fatwa tidak bisa diajukan oleh individu masyarakat, melainkan lembaga negara. Jika dalam konteks kasus Pinangki, fatwa yang diinginkan melalui Kejaksaan Agung.
Ia mempertanyakan apa tugas dan kewenangan Pinangki sehingga bisa mengurus sebuah fatwa dari lembaga negara dalam hal ini Kejaksaan Agung dan apa yang membuat Joko S Tjandra percaya.
Dalam banyak pemberitaan disebutkan bahwa dalam laporan hasil pemeriksaan bidang pengawasan di Kejaksaan Agung, Pinangki sempat mengatakan bahwa ia melaporkan kepada pimpinan setelah bertemu Joko S Tjandra sekembalinya ke Indonesia.
“Pertanyaan lebih lanjut, apakah penyidik telah menelusuri saat proses penyidikan, siapa sebenarnya pimpinan yang diduga dimaksud oleh Pinangki?" ujarnya.
Menurutnya, ICW melihat dan mencermati beberapa pernyataan yang disampaikan pihak tertentu dalam berbagai pemberitaan bahwa terdapat beberapa istilah dan inisial yang sempat muncul ke tengah publik, misalnya: “bapakmu”, “BR”, dan “HA”.
Dalam konteks ini, ICW meragukan penyidik telah mendalami terkait dengan istilah dan inisial-inisial tersebut. Bahkan, jika telah didalami dan ditemukan siapa pihak itu, maka orang-orang yang disebut harus dipanggil ke hadapan penyidik untuk dimintai klarifikasinya.
Kurnia menambahkan, penyidik diduga tidak melakukan koordinasi dengan KPK pada proses pelimpahan perkara ke Pengadila Tipikor. Ketika pada tanggal 4 September 2020, KPK telah resmi menerbitkan surat perintah supervisi terhadap penanganan perkara Pinangki Sirna Malasari di Kejaksaan Agung.
Semestinya, lanjut Kurnia, setiap tahapan penanganan perkara tersebut Kejaksaan Agung harus berkoordinasi dengan KPK. Namun, pada tanggal 15 September 2020, Kejaksaan Agung langsung melimpahkan berkas perkara Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tindak Pidana Kourupsi. ICW menduga kuat Kejaksaan Agung tidak atau belum berkoordinasi dengan KPK ihwal pelimpahan itu.
“Maka diduga keras tindakan para penyidik telah bertentangan dengan Pasal 5 huruf a Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa," ujarnya.
Adapun isi ketentuan tersebut yakni: Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa adalah menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur, dan adil.
Berdasarkan Pasal 4 huruf a Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, yakni: Komisi Kejaksaan berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. "Maka laporan ini seharusnya dapat ditindaklanjuti,” tegas Kurnia.
“Jika nantinya laporan ini terbukti benar dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap para penyidik, maka ICW mendesak Komisi Kejaksaan agar merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk memberi sanksi tegas terhadap para penyidik,” ujarnya.