Jakarta, Gatra.com - Revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan merupakan momentum untuk mempertegas fungsi Kejaksaan. Ini merupakan pandangan para akademisi dan juga praktisi hukum dalam talkshow virtual yang digelar Aliansi Publik Indonesia (API) pada Rabu (14/10).
Kepala Prodi (Kaprodi) Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Prof. Suparji Ahmad, dalam talkshow bertajuk "Menyoal RUU Kejaksaan" ini, menyampaikan, RUU ini harus memperkuat kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan.
Menurutnya, UU harus menempatkan kedudukan jaksa sebagai suatu profesi dalam Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti polisi dan tentara. "Harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus," ujarnya.
Selain itu, lanjut Suparji, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, posisi Kejaksaan sebagai penuntut umum tunggal (single prosecution system) maupun sebagai satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana, namun dalam perkembangannya semakin terabaikan.
Menurutnya, itu terjadi karena ada beberapa lembaga lain yang juga melaksanakan fungsi penuntutan dan eksekusi, tetapi tidak dikendalikan oleh Jaksa Agung selaku pimpinan para jaksa.
Sesuai Pasal 11 Pedoman PBB tentang Peranan Jaksa, lanjut Suparji, sangat jelas menyatakan bahwa jaksa harus berperan aktif dalam proses penanganan perkara pidana, termasuk melakukan penuntutan bahkan penyidikan jika hukum setempat memberikan kewenangan.
Selain melakukan penyidikan, juga melakukan pengawasan terhadap keabsahan penyidikan tersebut, mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan, dan menjalankan fungsi lain sebagai wakil kepentingan umum.
Menurutnya, kalimat "Jaksa melakukan penuntutan" harus dimaknai sebagai implementasi dari prinsip penuntut umum tunggal (single prosecution system) dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, jika RUU ini menjadi UU, maka para pencari keadilan akan meletakan tumpuan keadilan kepada jaksa.
Dengan demikian, proses penuntutan yang dilakukan jaksa mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi akan optimal dalam mewujudkan kebenaran material (substantial truth) dan keadilan.
Suparji lebih jauh menyampaikan, revisi UU ini tentu semangatnya untuk menyelesaikan berbagai masalah dan tidak menimbulkan persoalan baru. Untuk itu, proses revisi harus mengidentifikasi semua persoalan, prosesnya harus transparan, akuntabel, dan melibatkan sektor terkait agar hasilnya konprehensif.
Adapun Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Firman Wijaya, menyampaikan, Dominus Litis merupakan asas fundamental bagi Kejaksaan. Asas ini memberikan kewenangan absolut (absolute otoritatif) berdasarkan prinsif dominus litis dan executive ambtenaar, serta tidak dapat dipisah-pisahkan (een en on delbar).
Menurutnya, jaksa sebagai institusi atau organ utama negara (main state organ atau procureur general atau parket general) pengendali perkara dan satu-satunya institusi yang dapat menentukan apakah suatu perkara dapat atau tidak dapat diajukan ke tahap pegadilanatau deponering atau seponering serta sebagai eksekutor tunggal pelaksana putusan pidana.
Ia mengungkapkan, sejak UU Nomor 15 Tahun 1961, kemudian UU Nomor 5 Tahun 1991 dan selanjutnya UU Nomor 16 Tahun 2004, Kewenangan Kejaksaan memerlukan role model baru sebagai single prosecutor system yang menghadapi berbagai tantangan dan hambatan.
"Karena itu, memerlukan pembaharuan pedoman (guideline role model prosecutor) secara filosofis, yuridis, sosiologis melalui rancangan Undang-Undang Kejaksaan yang baru berdasarkan asas legalitas dan opportunitas yang lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan," katanya.
Firman menyampaikan, revisi UU Kejaksaan ini harus menguatkan lembaga Kejaksaan, bukan sebaliknya melemahkan Korps Adhyaksa dalam menegakan hukum.
Sementara itu, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta yang juga praktisi hukum, Hasbullah, menyampaikan, revisi ini tidak boleh mengurangi kewenangan yang sudah ada. Ia juga menyoroti soal pentingnya perlindungan bagi jaksa dan keluarganya.
Hasbullah menyampaikan, perlindungan tersebut sesuai dengan standar perlindungan profesi jaksa yang ada di dalam United Nations Guideline on the role of procecutors dan International Association of Prosecutor (IAP). Ia merujuk ketentuan ini karena Indonesia sudah bergabung sebagai anggota IAP sejak 2006 lalu.
Sedangkan untuk penyempurnaan kewenangan Kejaksaan untuk menyidik tindak pidana tertentu, menurut Hasbullah, bukan hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, melainkan juga untuk kasus pencucian uang, tindak pidana kehutanan, dan pelanggaran hak Asasi manusia berat (HAM Berat).
Ia berharap, naskah RUU Kejaksaan ini dibuka secara gamblang kepada publik serta melibatkan banyak pihak termasuk diuji secara akademis agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari bagi institusi Kejaksaan.
"Jangan sampai ini jadi boomerang bagi institusi Kejaksaan, kemudian RUU Kejaksaan menjadi urgen karena UU lama tidak memenuhi perkembangan terbaru, terakhir, semoga ini jadi suatu penguatan terhadap kewenangan kejaksaan," ujarnya.