Jakarta, Gatra.com – Kelompok Kerja Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menyampaikan bahwa proses penyusunan dan substansi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sarat masalah karena tidak sesuai prosedur perundang-undangan.
"Kami menemukan banyak masalah dalam proses penysunan dan isi UU Cipta Kerja ini,” kata Berly Martawardaya, Ketua ILUNI UI, dalam siaran pers, Selasa (13/10).
Menurut Berly, ini merupakan hasil analisis atau kajian dari Kelompok Kerja (Pokja) RUU Cipta Kerja yang terdiri dari alumni UI dari lintas fakultas dan angkatan. Mereka menganalisis proses penyusunan dan isi UU Cipta Kerja dari segi hukum, pendidikan, ekonomi, UMKM, ketenagakerjaan, serta sumber daya esktraktif, dan pertambangan.
“Sebagai bagian dari kontribusi pemikiran alumni UI terhadap kebijakan dan jalannya pemerintahan, pada Senin lalu pokja menyampaikan hasil kajian dan analisis ke publik," ujarnya.
Secara umum, Pokja menemukan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari segi isi, walaupun bukan tanpa aspek positif, UU Cipta Kerja juga membawa banyak masalah baru.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini, menambahkan bahwa Pokja menemukan ketentuan-ketentuan yang mengancam hak-hak masyarakat, khususnya pekerja dan pemerintah daerah dan metode Risk Based Approach (RBA) berpotensi mengakselerasi kerusakan lingkungan, serta justru meningkatkan ketidakpastian usaha serta kompleksitas regulasi.
Pokja menyayangkan respons dari aparat keamanan terhadap aksi penolakan UU Cipta Kerja yang dilakukan masyarakat. “Unjuk rasa dan penyampaian pendapat yang dilakukan masyarakat secara damai merupakan hak yang dijamin konstitusi dan undang-undang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Pokja juga meminta pemerintah untuk segera menyosialisasikan naskah final UU Cipta Kerja yang disahkan beserta draf Peraturan Pemerintah pendukung.
“Kami juga merekomendasikan kepada Presiden untuk mengeluarkan Perppu membatalkan UU Cipta Kerja sebagaimana dilakukan terhadap UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan pada UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Umum,” ujar Berly yang juga Dosen FEB UI.
Berikut poin-poin hasil analisis Pokja ILUNI UI Mengenai UU Cipta Kerja:
1. Proses penyusunan, pembahasan, dan pengesahan Omnibus Cipta Kerja dilakukan secara terburu-buru, tidak transparan, minim sosialisasi dan penyerapan aspirasi masyarakat, serta tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 dan UU 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Perubahan pendekatan perizinan menjadi pendekatan berbasis risiko tanpa memperhatikan kemampuan lembaga, sumber daya manusia, dan kelengkapan sistem yang ada berpotensi mengakselerasi kerusakan lingkungan, kesehatan masyarakat, situs budaya/adat, serta justru meningkatkan ketidakpastian usaha. (Pasal 7- 12).
3. Penyederhanaan perizinan dan pemberian insentif yang berlebihan kepada sektor energi dan tambang, khususnya batubara, berpotensi menghilangkan pendapatan negara, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan, dan hilangnya hak-hak masyarakat dalam jangka panjang. (Pasal 39).
4. Penarikan wewenang perizinan dan pengelolaan SDA dari daerah ke pemerintah pusat adalah bentuk resentralisasi kewenangan yang bertentangan dengan amanat reformasi 1998 mengenai otonomi daerah, berpotensi meningkatkan kesenjangan pusat dan daerah, serta mengancam proses demokrasi yang sehat. (Pasal 10, 15, 17, dan 23).
5. Banyaknya peraturan pelaksana yang dimandatkan oleh undang-undang dan harus selesai dalam waktu tiga bulan seperti tercantum dalam Bab XV Ketentuan Penutup Pasal 185 ini berpotensi menambah beban dan kompleksitas aturan yang kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi.
6. UU Cipta Kerja memuat pasal-pasal yang berpotensi mengurangi hak-hak buruh, mengurangi hak dan perlindungan buruh perempuan, serta merugikan kesejahteraan buruh yang sebelumnya telah dijamin dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Pasal 81).
7. Dalam Pasal 87 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM sehingga menjadi kriteria UMKM dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi. Selanjutnya, kriteria UMKM bisa memuat insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
8. Proses pembicaraan tingkat II di DPR memperlihatkan belum adanya kesepakatan antarfraksi akan UU Cipta Kerja. Seharusnya alih-alih mengesahkan naskah Omnibus Cipta Kerja, paripurna melanjutkan dengan proses pengambilan suara, mengacu ke Pasal 164 ayat 2 Peraturan Tata Tertib DPR No. 1/2020.
Berdasarkan hal di atas Pokja meminta pemerintah untuk segera mensosialisasikan naskah UU Cipta Kerja yang disahkan beserta draft Peraturan Pemerintah pendukung yang sudah disiapkan dan merekomendasikan kepada Presiden guna mengeluarkan Perppu membatalkan UU Cipta Kerja sebagaimana dilakukan terhadap UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan pada UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Umum.