Pekanbaru, Gatra.com- Pengamat politik dari Universitas Islam Riau, Panca Setyo Prihatin, mengungkapkan respon Pemerintah Provinsi Riau terhadap aspirasi buruh dan mahasiswa terkesan diplomatis.
Alih-alih memberikan tanggapan tegas terhadap tuntutan para buruh dan mahasiswa, yang mendambakan batalnya UU Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka) atau munculnya peraturan pengganti undang-undang (Perpu). Pemprov Riau justru menghindari narasi utama penolakan terhadap UU Cilaka.
"Ada kesan yang terbangun bahwa Pemprov Riau tidak secara tegas mengatakan turut menolak seperti yang disuarakan oleh buruh dan mahasiswa Riau," sebutnya melalui keterangan tertulis, Selasa (13/10).
Sebelumnya,pada Senin (12/10) Gubernur Riau telah meneruskan aspirasi elemen buruh dan mahasiswa pengkritik UU Cilaka, dengan bekirim surat ke DPR RI. Dalam dokumen yang ditandatangani Gubernur Riau Syamsuar tersebut, memang dibunyikan Pemprov Riau meneruskan aspirasi buruh dan mahasiswa.
"Meneruskan surat, dengan menyatakan menolak sesuai aspirasi yang ada. Ini merupakan hal yang berbeda," tekannya.
Narasi yang berbeda tersebut diduga sebagai upaya Pemprov Riau meredakan semangat unjuk rasa kaum buruh dan mahasiswa. Terlebih, pada hari yang sama Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Provinsi Riau berharap respon Pemprov atas tuntutan demonstran dapat mengakhiri aksi massa.
"Kadisnaker berharap setelah ini tidak ada lagi demo-demo, ini suatu hal yang sangat keliru dalam alam demokrasi. Sebagai fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan, fungsi input melalui saluran-saluran yang diatur tidak boleh dibungkam, sampai aspirasi yang disuarakan itu dapat diselesaikan dengan baik atau paling tidak terbangun dialog antara para pihak yang berkepentingan dalam hal ini," tukasnya.
Seperti daerah lainya, Riau juga diwarnai aksi unjukrasa menolak UU Cilaka. Aksi massa yang berlangsung pada tanggal 6 hingga 8 Oktober tersebut, sempat berlangsung rusuh, khususnya pada Kamis (8/10).
Saat itu aksi unjukrasa yang berlangsung di depan gedung DPRD Riau berlangsung rusuh. Hal itu ditandai dengan jatuhnya korban luka dan pingsan di kalangan mahasiswa, setelah kepolisian merespon aksi massa dengan tembakan gas air mata.
Aksi represif tersebut memicu sorotan terhadap cara kerja Polda Riau dari pemuka masyarakat. Bukan hanya itu lambannya respon DPRD Riau terhadap tuntutan demonstran, turut menjadi catatan.