Pekanbaru, Gatra.com - Sudah dua hari belakangan Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau ini memelototi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCIKA) yang baru berumur sepekan itu.
Yang dia pelototi tentu cluster yang berisi soal aturan main penyiaran. "Pasal 33 UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran sudah dirobah," cerita Warsito kepada Gatra.com, Senin (12/10).
Intinya kata lelaki 44 tahun ini, kalau di UU 32/2002 tentang penyiaran itu, pintu masuk proses perizinan penyiaran itu, KPI.
Mulai dari Evaluasi Dengar Pendapat (EDP), kelayakan hingga alokasi kanal frekuensi, juga Rekomendasi Kelayakan dari KPI. Kalau semuanya sudah lengkap, baru diteruskan ke Kementrian Kominfo.
"Lalu tenggat waktu kapan beresnya izin ini, juga enggak ada kepastian. Malah pemohon ada yang sampai lupa sangking lamanya izin itu rampung. Lalu, muncul Permenkominfo 18 tahun 2016. Di sini disebutkan kalau tenggat waktu keluarnya izin sekitar 61 hari," rinci alumnus Universitas Muhammadiyah Riau ini.
Tapi di pasal 72 UUCIKA --- hasil perubahan pasal 33 tadi --- pengurusan izin dipastikan akan beres dalam sehari. "Perizinan ini diambil alih pemerintah dan semuanya online," katanya.
Lantas apa yang kemudian menjadi fokus KPI? "Ada di pasal 55 UU 32 tadi. Kita akan konsen di penjatuhan sanksi, mulai teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan perizinan berusaha penyiaran, hingga terberat pencabutan izin penyiaran," Warsito kembali merinci.
Selanjutnya, pasal 34 UU 32/2002 dihapus. "Substansi pasal ini menyangkut masa berlaku Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Untuk radio 5 tahun dan televisi 10 tahun. Lantaran pasal ini sudah dicabut, otomatis enggak ada lagi masa berlaku IPP itu," terangnya.
Nongolnya perobahan ini kata Warsito justru memunculkan penolakan oleh sejumlah Komisioner KPI di daerah.
Omongan yang berseliweran, "Kalau kewenangan tadi dicabut, KPI enggak punya kerjaan lagi. Terus perpanjangan IPP enggak ada lagi. Sebelumnya memang urusan perpanjangan IPP ini, KPI yang jadi garda terdepannya," ujar Warsito.
Warsito sendiri menganggap, perubahan kewenangan yang dibikin untuk KPI itu justru akan membikin dia lebih konsen melakukan pengawasan.
"Sebab memang inilah kerjaan kami yang sebenarnya; mengawasi. Satu hal yang paling penting, dengan adanya perubahan itu, tentu akan mempermudah orang mengurus izin. Kalau sudah mudah, saya yakin akan menjadi magnet berinvestasi di sektor penyiaran. Apalagi ditambah dengan enggak ada lagi perpanjangan izin tadi. Emang enggak perlu ada istilah perpanjangan. Cukup dengan awasi semuanya, termasuk pembayaran pajaknya," katanya.
Anggota Badan Legislasi DPR RI, Abdul Wahid mengamini omongan Warsito tadi dan omongan tak sedap itu juga kata Wahid, juga berseliweran di lembaga-lembaga yang selama ini terindikasi koruptif.
"Selama ini kan urusan perizinan itu berbelit-belit dan ini dimanfaatkan oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Nah, dalam UUCIKA ini, semuanya sudah serba online. Bagi lembaga yang berkategori bersih, yang semacam ini justru membikin mereka senang. Mereka merasa dimudahkan. tapi bagi lembaga yang terindikasi koruptif, aturan baru ini menganggu zona nyamannya," ujar anggota Komisi VII DPR RI ini.
Munculnya aksi penolakan UUCIKA di sejumlah daerah kata lelaki asal Indragiri Hilir Provinsi Riau, bukan tidak mungkin diboncengi oleh oknum-oknum yang zona nyamannya terganggu.
"Omongan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa UUCIKA ini dibikin untuk mendorong upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, memang benar, namun itu tadi, tantangannya besar," katanya.
Abdul Aziz