Home Hukum FPBI: UU Cilaka Lebih Parah dari UU Ketenagakerjaan

FPBI: UU Cilaka Lebih Parah dari UU Ketenagakerjaan

Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Herman Abdurrahman mengatakan aturan-aturan terkait perburuhan dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) lebih parah dibandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Banyak hal dalam Omnibus Law yang kita tangkap bahwa ini akan lebih merusak hak-hak dasar buruh. Misalkan dari liberalisasi hubungan kerja, dalam beberapa catatan kita, di Omnibus Law ini akan lebih dibuat lebih fleksibel ketimbang UU Nomor 13 Tahun 2003 yang selalu kita kritisi," katanya dalam diskusi virtual, Minggu (11/10).

Ia mencontohkan, dalam Omnibus Law Cipta Kerja, aturan terkait kontrak outsourcing tidak memiliki ketentuan batasan waktu. Meski dalam regulasi baru ini tetap dicantumkan perihal terkait Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau hubungan kerja tetap, namun dengan adanya kontrak outsourcing yang tidak terbatas, akan perlahan menghilangkan PKWTT.

"Karena ada kontrak outsourcing yang tidak terbatas waktunya dan seluruh bagian kerja boleh menggunakan kontrak outsourcing, itu secara perlahan dan pasti hubungan kerja tetap itu akan hilang. Mungkin untuk beberapa tahun itu tidak masalah, tapi setelah sekian lama, pekerja-pekerja tetap itu perlahan-lahan akan hilang," jelasnya.

Selain itu, ia juga mennyebut, proses penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja ini dilakukan secara tidak transparan. Bahkan, hanya sebagian kecil buruh yang mengetahui adanya proses penyusunan Omnibus Law ini.

"Kita juga melihat dalam Omnibus Law ini betul-betul diproses dalam ruang yang sangat gelap. Kita sama sekali tidak tahu bagaimana perkembangannya, tidak pernah dibuka ruang partisipasi, padahal itu mau berbicara tentang nasib buruh," ucap Herman.

Ia mempertanyakan metode yang digunakan pemerintah untuk mengetahui hal-hal yang dibutuhkan buruh tanpa mengajak berdialog secara langsung. Artinya, penyusunan regulasi yang disebut-sebut untuk memperbaiki nasib buruh itu bisa dikatakan meragukan.

"Bagaimana pemerintah bisa tahu akan memperbaiki nasib buruh kalau tidak pernah berdiskusi di bawah? Ternyata ketika kita menerima draftnya beberapa kali walaupun ada banyak perubahan, tidak ada perubahan yang lebih baik. Bahkan lebih buruk dari UU Ketenagakerjaan yang ada, lebih liberal dan lebih tidak pasti," tegasnya.

Bahkan, menurutnya, dengan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja ini, buruh akan kehilangan kepastian hukum dalam ruang litigasi. Lantaran, aturan-aturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini menjadi lebih buram dan tidak spesifik dari sebelumnya.

"Ini tentu sangat mengancam nasib buruh ke depan. Kita secara prinsip melihat bahwa proses Omnibus Law ini cacat, inkonstitusional. Sehingga gak bisa kita terima," ucap Herman.

794