Padang, Gatra.com- Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatra Barat (Sumbar) membeberkan 7 dosa besar Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI dengan pemerintah pusat pada 5 Oktober 2020 lalu.
Sesuai keterangan tertulis diterima Gatra.com, Sabtu (10/10), Pusako menilai UU kontroversial itu tanpa mengindahkan penolakan maupun pertimbangan publik. Dengan begitu, pembentukan UU Cipta Kerja oleh wakil rakyat tersebut telah melahirkan seven deadthly sins.
Pertama, kesombongan penguasa. Sentralistik kekuasaan seperti Orde Baru dan Orde Lama. UU Cipta Kerja bahkan jauh dari cita-cita reformasi dengan meletakkan kekuasaan terpusat pada Pemerintah Pusat, melalui ratusan Peraturan Pemerintah, terutama dalam izin usaha hingga penyelenggaraan penataan ruang.
Kedua, ketamakan pebisnis. UU Cipta Kerja hanya memprioritaskan kemudahan bagi investor atau pemilik modal. Seluruh hal ditentukan Pemerintah Pusat, maka pebisnis cukup melakukan pendekatan kepada Pemerintah Pusat agar dengan mudah menyelesaikan urusan apapun di Indonesia.
Ketiga, iri terhadap kuasa pemerintah daerah (Pemda). UU Cipta Kerja melemahkan kuasa Pemda yang secara konstitusional menjalankan prinsip otonomi seluas-luasnya sesuai UUD 1945. Termasuk izin usaha di daerah, tata ruang desa (Pasal 48 UU Penataan Ruang UU Cipta Kerja), penentuan wilayah pesisir dan pulau kecil (Pasal 7C, Pasal 16 UU Pengelolaan Wilayah dan Pulau-pulau Kecil UU Cipta Kerja).
Keempat, kerakusan. UU Cipta Kerja akan menimbulkan ketimpangan keuangan pusat dan daerah. Makin patuh daerah ke Pemerintah Pusat, berpotensi akan menikmati dibandingkan daerah yang bukan "partai" pemerintah. Seluruh SDA yang ada penentuan perizinannya melalui Pemerintah Pusat (Pasal 17A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil).
Seluruh bisnis, contohnya bisnis di wilayah pesisir mulai dari garam hingga pariwisata dipegang Pemerintah Pusat (Pasal 19 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Izin usaha masyarakat lokal dan tradisional hanya terkait kebutuhan hidup sehari-hari, terkecuali bagi masyarakat hukum adat (Pasal 20 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir UU Cipta Kerja).
Kelima, nafsu pemodal Asing. Pulau-pulau yang ada di Indonesia dapat dikelola melalui Penanaman Modal Asing berdasarkan kepentingan pusat. Padahal, asset pulau tersebut milik pemerintah daerah (Pasal 16A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam UU Cipta Kerja).
Keenam, malas bertanggungjawab. UU Cipta Kerja bukti kemalasan Pemerintah Pusat dan perusahaan bertanggungjawab terkait pembakaran hutan. Apalagi, kebakaran hutan menjadi persoalan setiap tahunnya, dan makin diperparah karena tidak ada lagi sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan yang melakukannya.
Padahal, Pusako Unand menilai United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) mengisyaratkan, bahwa kewajiban negara untuk melindungi individu dari pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) oleh pihak ketiga, termasuk bisnis (Pasal 49 UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja).
Ketujuh, kemarahan pada rakyat pemilik lahan. UU Cipta Kerja menghapus ketentuan tentang syarat pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan lahan pertanian. Akibatnya dengan alasan demi kepentingan umum maupun kebutuhan investasi, lahan pertanian dapat dialihfungsikan dengan mudah.
Menurut Pusako Unand, hal ini tentu akan menimbulkan banyak konflik agraria akibat perampasan lahan nantinya (Pasal 44 UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja).
Atas pertimbangan 7 dosa besar UU Sapu Jagat Cipta Kerja itu, dan menyimak potensi dampak kerusakan yang akan menimbulkan permasalahan multidimensi, maka Pusako Unand dengan tegas UU Cipta Kerja harus dibatalkan, dan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) bentuk pertanggungjawaban presiden yang mengusulkan UU itu.